Saya belum mendalami masalah ini, karena disiplin ilmu saya tidak terkait langsung dengan tenagakerjaan. Tetapi kita perlu belajar dari negara maju, seperti Jerman, Amerika dan lainnya yang sudah punya model,
Jakarta (ANTARA News) - Rektor Universitas Sahid Jakarta, Prof. Dr. Toni Atyanto setuju jika karyawan punya lembaga komunikasi untuk membicarakan hak dan kewajiban karyawan dan perusahaan melalui lembaga serikat pekerja.
Jika kelembagaan itu harus ada karena amanat undang-undang, tentu tak ada yang berani melarang, kata Rektor Usahid, Prof. Dr. Toni Atyanto, menjawab pertanyaan Serikat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, usai menghadiri Forum Diskusi Group tentang outsourcing, di Universitas Sahid, Rabu di Jakarta.
Menurut Atyanto, masalah tenaga kerja, urusan bangsa ini bersama, termasuk di dalamnya sistem kerja antar waktu atau (PKWT) atau pemborongan yang dapat dialih tugaskan kepada perusahaan lain.
"Saya belum mendalami masalah ini, karena disiplin ilmu saya tidak terkait langsung dengan tenagakerjaan. Tetapi kita perlu belajar dari negara maju, seperti Jerman, Amerika dan lainnya yang sudah punya model, seperti apa sistem yang dipakai sehingga tidak merugikan kedua belah pihak, karyawan dan pemberi kerja," katanya.
Ditempat yang sama, Dekan Fakultas Hukum Usahid Dr. Laksanto Utomo menegaskan, pembuatan serikat pekerja di Usahid harus diwujudkan, karena itu merupakan kebutuhan karyawan untuk mempertahankan hak dan kewajibannya sebagai karyawan.
Sebaliknya, pemberi kerja pun juga harus tahu kewajibannya sehingga orang tidak mudah memecat atau memberikan surat peringatan berat tanpa lewat prosedur hukum atau peraturan yang berlaku.
"Sudah lebih 30 tahun yayasan ini ada, tetapi karyawannya tidak punya wadah untuk menyalurkan keluh kesahnya, karena tidak adanya wadah serikat pekerja itu," katanya.
Ia kemudian menambahkan, forum dekan di Usahid juga sudah setuju dibentuknya SP karena di perguruan lain juga sudah berdiri serikat pekerja.
Dikatakan, Pasal 104 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan setiap karyawan/buruh berhak membuat dan menjadi anggota serikat pekerja.
Ketentuan ini diperkuat lagi di Pasal 5 UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, yang menyebutkan antara lain, setiap pekerja- buruh berhak membuat serikat pekerja. Serikat pekerja dibuat oleh minimal 10 orang anggota. Dengan begitu, tak ada larangan dari siapa pun, termasuk di Usahid untuk membuat SP, katanya.
Forum Group Diskusi/FGD tentang outsoucing yang dihadiri oleh unsur serikat pekerja, praktisi hukum, Herman Juniarto, Kementerian Tenaga Kerja, Mangiring Sagala bidang pengawasan dan sektor pengguna BUMN PLN, antara lain menyepakati bahwa outsourcing tenaga kerja seperti yang diisyaratkan Pasal 64 hingga 66 UU No 13/2003 masih banyak menyimpan masalah.
Lilis dari Serikat Buruh Nasional mengatakan, outsourcing itu tak lebih dari bentuk perbudakan gaya baru, karena tenaga kerja laksana seperti barang yang hanya sebagai pelengkap produksi.
Banyak pekerja khususnya perempuan sengsara karena adanya sistem outsourcing itu, oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali terhadap pasal yang mengisyarat bekerja antarwaktu itu.
Sementara itu, Sriyono D. Siwoyo dari PLN menambahkan, perusahaannya menggunakan tenaga outsourcing karena banyak pekerjaan tidak termasuk bisnis intinya. Namun ia juga mengakui UU Ketenagakerjaan itu masih banyak yang multi tafsir, seperti jenis pekerjaan yang mana yang dapat dioutsourcingkan, dan apakah semua badan hukum di Indonesia juga bisa, katanya.
(Y005/A011)
Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013