Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita empat kendaraan yang dibeli oleh mantan Direktur Utama PT Armada Usaha Bersama (AUB) Budi Susanto dari hasil korupsi pengadaan armada bus Transjakarta. Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean di Jakarta, Selasa, mengatakan, penyidik KPK telah mendapatkan bukti bahwa kendaraan tersebut dibeli oleh tersangka Budi Susanto dari hasil penggelembungan nilai kontrak pengadaan armada bus Transjakarta. "Penyitaan itu berkaitan dengan kasus dugaan korupsi busway. Penyidik telah mendapatkan bukti bahwa kendaraan itu didapatkan tersangka dari hasil korupsi," kata Tumpak. Empat kendaraan yang terdiri atas satu bus besar merk Mercedes Benz, satu minibus merk Mitsubishi dan dua mobil merk Mitsubishi kuda itu diparkir di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta. Tumpak mengatakan ia belum bisa menentukan apakah KPK akan menyita barang lain dari tersangka Budi Susanto atau mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Rustam Effendi, yang berasal dari hasil korupsi pengadaan armada bus Transjakarta yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp14 miliar itu. "Kita lihat saja nanti. Kalau penyidik menemukan bukti lain dan dianggap perlu, bisa saja nanti ada penyitaan lagi," ujarnya. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan ANTARA News, Budi Susanto dalam pemeriksaan, Selasa, telah mengakui empat kendaraan bernilai Rp1,8 miliar yang disita KPK itu dibeli dari hasil korupsi proyek Busway. KPK melacak pembelian empat kendaraan itu dari transaksi rekening Budi di Bank DKI, tak lama setelah pembayaran pengadaan armada bus Transjakarta dari Dinas Perhubungan Jakarta ke PT AUB. KPK saat ini masih melacak aliran dana dari kerugian negara sebesar Rp14 miliar dan masih menyelidiki kemungkinan adanya pemberian uang (kickback) dari PT AUB kepada Dinas Perhubungan. Selain menyita empat kendaraan, KPK juga telah menerima pengembalian uang sebesar Rp259 juta dari panitia pengadaan armada bus Transjakarta. KPK menahan Budi Susanto pada 10 Agustus 2006, sedangkan Rustam ditahan pada 14 Juni 2006. Menurut keterangan KPK, Budi merekayasa pengadaan tender dengan menyediakan perusahaan pendamping sehingga seolah-olah tender itu dilaksanakan mengikuti prosedur. Peserta lelang tender itu adalah PT AUB, Siliwangi Berlian Motor, Hartono Raya Motor dan Subur Pratama Mandiri. Namun, saat pemeriksaan di KPK, tiga perusahaan selain PT AUB itu tidak mengaku pernah ikut lelang. Budi Susanto meminta dokumen perusahaan kepada tiga perusahaan tersebut untuk didaftarkan kepada Dishub sebagai peserta lelang pengadaan armada Transjakarta, dengan alasan untuk pengadaan bus karyawan perusahaannya. Saat lelang dilaksanakan pun, yang hadir mewakili tiga perusahaan itu adalah perwakilan dari PT AUB yang masing-masing mengaku mewakili Siliwangi Berlian Motor, Hartono Raya Motor, Subur Pratama Mandiri. Lelang rekayasa itu pun akhirnya dimenangkan oleh PT AUB. Perusahaan yang berinduk pada AUB juga memenangi pengadaan chasis dan karoseri, yatu PT Armindo Perkasa dan PT Mekar Armindo Jaya (new armada). Ketiga perusahaan itu dimiliki oleh orang yang sama, David Herman Jaya, komisaris dan pemegang saham 70 persen di PT AUB, pemegang 70 persen saham di PT Armindo Perkasa dan Direktur Utama serta pemegang 100 persen di PT Mekar Armindo Jaya. Budi juga berkolusi dengan pihak Dishub untuk menggelumbungkan nilai kontrak armada busway. Dari dua tahun anggaran, pada 2003 senilai Rp50 miliar untuk 54 unit dan 2004 senilai Rp37,7 miliar untuk 35 bus, untuk sementara KPK telah menemukan kerugian negara sebesar Rp14 miliar. Tumpak telah berjanji KPK akan memeriksa semua pihak yang terkait dengan dugaan korupsi pengadaan armada bus Transjakarta koridor I dan akan menyelesaikan kasus tersebut secara tuntas. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan armada transjakarta, KPK telah memeriksa sekitar 50 saksi, di antaranya ketua panitia pengadaan Sylvira Ananda, anggota panitia Cecep Arsad, Komisaris PT Armada Usaha Bersama David Herman Jaya, serta Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta saat ini Nurahman.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006