Autokritik Mr. Ai Ping, Wakil Menteri Departemen Internasional PKC, bahwa PKC terlalu lama menjadi partai penguasa (selama 54 tahun) justru berbahaya bagi partainya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi partai politik di Tanah Air,"Semarang (ANTARA Newsa) - Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Eva Kusuma Sundari mengatakan terlalu lama menjadi partai penguasa berpotensi terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) sebagaimana pengalaman Partai Komunis China (PKC).
"Autokritik Mr. Ai Ping, Wakil Menteri Departemen Internasional PKC, bahwa PKC terlalu lama menjadi partai penguasa (selama 54 tahun) justru berbahaya bagi partainya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi partai politik di Tanah Air," katanya ketika dihubungi Antara dari Semarang, Selasa malam, setibanya di Tanah Air.
Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI Eva K. Sundari bersama 14 kader PDI Perjuangan baru tiba di Jakarta, Selasa malam, setelah berada di China selama 14--22 Oktober 2013 dalam rangka memenuhi undangan Partai Komunis China.
Sebelum delegasi delegasi PDI Perjuangan pulang ke Tanah Air, mereka sempat bertemu dengan Ai Ping di Beijing, Senin (21/10) siang.
Pada pertemuan itu, Ai Ping mengakui bahwa terlalu lama menjadi partai penguasa melahirkan empat bahaya bagi PKC, yaitu semangat kerja kader rendah, keterampilan (memerintah) menurun, makin berjarak dari masyarakat yang dilayani, dan KKN yang menjadi-jadi.
Berbeda dari tantangan partai-partai pada sistem-sistem demokrasi yang untuk berkuasa harus melalui pemilihan umum (pemilu). Tantangan PKC yang posisinya sebagai "ruling party" (partai berkuasa), kata Ai Ping, dijamin konstitusi China, yakni memastikan kaderisasi internal yang tepat.
"`Pertarungan` internal para kader ini merupakan perang sesungguhnya tiap lima tahun," kata Ai Ping seperti yang dikutip pimpinan delegasi PDI Perjuangan Eva K. Sundari.
Ai Ping lantas mencontohkan Perdana Menteri China Xi Jinping berjuang memenangi pertempuran-pertempuran selama 24 tahun di internal PKC, mulai dari posisinya sebagai pengurus ranting, distrik, provinsi, hingga menjadi Sekretaris Jenderal PKC yang otomatis adalah Presiden RRC dalam peperangan di Kongres PKC 2012.
Dalam Kongres Ke-18 PKC, kata dia, juga disepakati dua arah baru, yakni pertama, meningkatkan keterampilan organisasi untuk melanggengkan kekuasaan dalam politik; kedua, memperluas kegiatan-kegiatan parpol di tengah masyarakat dengan moto "Melayani dan Bekerja untuk Masyarakat Secara Benar dan Bersih".
Terkait dengan pelayanan kepada masyarakat, kata Ai Ping, keterampilan-keterampilan organisasi PKC untuk menangkap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, kemudian menuangkannya ke dalam kebijakan partai sebagai pedoman kerja bagi para kader merupakan titik krusial.
Strategi baru tersebut, lanjut dia, didasarkan pada temuan riset internal prakongres terkait dengan kinerja para kader, antara lain kader kerja pasif tanpa inovasi; amat birokratis; tidak ada etos "perjuangan" dan para pejabat di partai maupun di pemerintahan yang hidup bermewah-mewahan.
"Temuan tersebut mendorong upaya merevitalisasi ideologi. Kader-kader diingatkan bahwa pelayanan terhadap masyarakat merupakan indikator pelaksanaan ideologi," katanya di hadapan delegasi PDI Perjuangan.
Autokritik untuk koreksi, lanjut dia, tidak saja dilaksanakan di level organisasi, tetapi juga antarindividu. Tiap kader diminta melakukan evaluasi diri (performance review) secara mandiri dan juga dari para kolega, termasuk atasan dan bawahan.
Eva menilai meritokrasi di negara tersebut ditegakkan dengan membentuk Badan Anti-Kecurangan di dalam pemerintahan dan Badan Kehormatan di dalam PKC. Dua badan ini bekerja sama dan jika ada kader yang terbukti melakukan KKN diancam hingga hukuman mati.
(D007/Z003)
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013