Jakarta (ANTARA) - “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa,” demikian ungkapan Bapak Proklamator, Mohammad Hatta, mengenai pentingnya pengembangan desa untuk memajukan pembangunan nasional.
Pemerintah kini berupaya untuk mengembangkan desa yang masih berstatus sangat tertinggal menjadi tertinggal, berkembang, maju, hingga akhirnya dapat mandiri.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) pada 2023 mencatat jumlah desa dengan status sangat tertinggal turun dari 13.453 desa menjadi 4.850 desa, sedangkan jumlah desa tertinggal berkurang dari 33.592 desa menjadi 7.154 desa.
Sementara itu, jumlah desa berkembang bertambah 5.884 desa menjadi 28.766 desa, desa maju naik dari 19.427 desa menjadi 23.035 desa, dan desa mandiri bertambah dari 11.282 desa menjadi 11.456 desa.
Walaupun jumlah desa sangat tertinggal telah jauh menurun, namun Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat masih terdapat ketimpangan yang signifikan antara desa dan kota.
Jumlah penduduk yang dapat mengakses fasilitas kesehatan dasar di daerah perkotaan sebesar 82,22 persen, sementara di wilayah pedesaan hanya mencapai 75,37 persen.
Selain itu, tingkat kemiskinan di pedesaan masih berada pada level 12,22 persen, jauh lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan perkotaan yang berkisar 7,29 persen.
Padahal, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kemendes PDTT telah menargetkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai kisaran 9,9 persen hingga 12,10 persen pada 2024.
Indeks Desa
Untuk menyejahterakan desa, selama bertahun-tahun berbagai kementerian dan lembaga pemerintah telah berupaya untuk membantu pembangunan desa melalui berbagai program dan insentif, misalnya penyaluran dana desa.
Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai tantangan akibat data yang belum terintegrasi dengan baik.
Plt. Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN Tri Dewi Virgiyanti menuturkan bahwa awalnya terdapat berbagai indeks desa yang digunakan sebagai acuan berbagai kementerian dan lembaga guna menyusun rencana kerja untuk membangun desa.
Misalnya, Indeks Desa Membangun (IDM) yang digunakan oleh Kemendes PDTT dan Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dipakai oleh BPS.
Hal tersebut mendorong Kementerian PPN bersama BPS, Kemendes PDTT, Kemenkeu, serta berbagai pihak terkait untuk menyusun suatu indeks tunggal pengukuran pembangunan desa yang disebut Indeks Desa.
Indeks Desa tersebut berisi enam dimensi, yakni layanan dasar, sosial, ekonomi, lingkungan, aksesibilitas, dan tata kelola pemerintahan desa.
Indeks tersebut akan mulai diterapkan pada 2025 karena memerlukan pengumpulan data yang menyeluruh mengingat data yang diperoleh merupakan data sensus, bukan sampling.
Terkait rencana tersebut pengamat sosial Institut Pertanian Bogor, Sofyan Sjaf, menilai bahwa penerapan Indeks Desa akan berdampak signifikan pada pengembangan desa karena dapat mempermudah pihak-pihak terkait melihat pencapaian pembangunan desa berdasarkan dimensi-dimensi yang ditetapkan.
“Nanti akan ketahuan dimensi-dimensi atau aspek mana yang kurang, mana aspek yang lebih dari target, di situlah intervensi kebijakannya,” ujar Sofyan Sjaf.
Sudah saatnya pemerintah membangun satu big data yang holistik, akurat, dan presisi dimulai dari desa, tidak lagi menggunakan data sektoral, dengan lebih menekankan pada pembangunan manusia (human-oriented), bukan pembangunan prasarana (infrastructure-oriented).
Selain itu, pengelolaan data tersebut perlu dilaksanakan berdasarkan tata kelola yang baik (good governance) dengan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengumpulan dan pengukuran data.
Terdapat tiga peran strategis bagi Indeks Desa, yaitu sebagai barometer pengukuran pencapaian rencana pembangunan nasional serta membantu desa beradaptasi dan meningkatkan resiliensinya menghadapi berbagai krisis di masa mendatang.
Indeks tersebut juga dapat menjadi jembatan untuk menuntaskan dua tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, kini semakin banyak desa memiliki level pembangunan yang hampir setara atau bahkan sudah setara dengan kota.
Berkarakter urban
Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN Togu Santoso Pardede mengatakan bahwa 15 persen dari total 83.971 desa/kelurahan di Indonesia saat ini telah berkarakter urban dengan tingkat pengembangan seperti di perkotaan.
Angka tersebut diprediksi naik menjadi 53 persen pada 2045 sehingga perlu ada kebijakan untuk mengelola pengembangan wilayah desa menjadi kota dengan baik untuk memastikan fungsi ekologis desa tetap terjaga di tengah perubahan kewilayahan tersebut.
Peningkatan kemandirian desa, pelestarian identitas budaya dan modal sosial, penguatan ketahanan lingkungan, serta pengembangan ekonomi yang inklusif pun diperlukan untuk mengantisipasi dampak dari perubahan tersebut.
Salah satu upaya untuk mengembangkan perekonomian daerah yang inklusif untuk mendorong kemajuan desa adalah dengan menyalurkan dana desa dan memberikan insentif.
Analis Keuangan Pusat dan Daerah dan Ketua Tim Pengelolaan Dana Desa Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Kurnia, menyatakan bahwa terdapat berbagai alokasi insentif, diantaranya alokasi kinerja dan alokasi afirmasi, yang salah satu indikator penilaiannya menggunakan Indeks Desa.
Terkait alokasi kinerja, semakin tinggi status desa, maka insentif yang diberikan Kemenkeu juga semakin besar agar memotivasi pemerintah desa meningkatkan status pengembangan desa mereka.
Sementara itu, alokasi afirmasi khusus diberikan untuk desa tertinggal dan sangat tertinggal, namun jumlahnya tidak sebesar dengan alokasi kinerja. Lagi-lagi, hal ini dimaksudkan untuk mendorong pemerintah desa membuat wilayahnya naik kelas.
Desa yang telah naik kelas mencapai status mandiri pun diberikan keistimewaan dengan mendapatkan persentase alokasi penyaluran dana desa yang lebih besar pada tahap pertama dibandingkan desa-desa yang belum berstatus mandiri.
Dana desa dan berbagai insentif tersebut tentunya dapat digunakan oleh pemerintah desa untuk menggerakkan roda perekonomian setempat, misalnya dengan meningkatkan prasarana pertanian, mengembangkan ekowisata desa, serta membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) maupun BUMDes Bersama.
Desa merupakan unit pemerintahan terkecil di Tanah Air. Namun, melihat perkembangan dan potensinya, maka sudah selayaknya untuk menjaga nyala puluhan ribu "lilin-lilin kecil" tersebut demi pembangunan Indonesia Raya.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024