Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud menyayangkan penundaan eksekusi terhadap terpidana mati Tibo dan kawan-kawan (dkk) dan ia berpendapat penundaan itu akan menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. "Eksekusi terhadap Tibo dkk seharusnya merupakan bagian pelaksanaan hukuman mati Amrozi dkk. Menjadi hal aneh kalau Amrozi eksekusinya didahulukan, karena kasus Tibo dua tahun lebih dulu dibandingkan kasus Amrozi," katanya di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin. Aksa meminta agar Presiden tidak lagi menunda pelaksanaan eksekusi Tibo. Demi kepastian dan penegakkan hukum, usai peringatan Kemerdekaan RI, Tibo dkk harus segera dieksekusi. Dia menyatakan, tidak adil bila Amrozy dkk dieksekusi mendahului Tibo dkk. Bahkan, jika mungkin eksekusi Tibo dan Amrozi bisa saja bersamaan di tempat tertentu. "Penudnaan ini preseden buruk karena jadwal dan jam eksekusi sudah ditentukan, bahkan lokasi dan menit-detik eksekusi sudah ditetapkan pula, tiba-tiba ditunda," katanya. Ketua DPR Agung Laksono menyatakan, penundaan terhadap eksekusi Tibo dkk merupakan kewenangan pemerintah. Soal surat yang dikirim dari Vatikan tidak akan mempengaruhi putusan pengadilan dalam hal ini mengeksekusi Tibo cs. "Saya kira itu hanya penundaan saja, eksekusinya tetap jalan," kata dia. Soal waktunya diserahkan kepada pemerintah, karena yang memutuskan adalah pemerintah. "Surat itu tak akan menjadi persoalan buat ekseksui Tibo," katanya. Anggota komisi III DPR asal PDIP Gayus Lumbuun berpendapat, Tibo dkk sebaiknya diberikan ruang untuk membela diri secara lebih mendalam lagi. Meski secara prosedural hukum sudah final, tetapi masih ada upaya hukum lain terutama hak keadilan yang tumbuh dimasyarakat. "Tibo dkk bisa meminta grasi kembali sesuai dengan ketentuan UU, dimana grasi bisa diberikan dua kali, Tibo cs baru sekali mengajukan grasi," kata Gayus. Ia juga setuju kalau eksekusi Tibo dkk ini ditunda sambil mencari upaya keadilan dan hukum lainnya. "Kita tidak perlu melihat hukum formalnya, tetapi ini masalah kemanusiaan," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006