Sijunjung (ANTARA) - Saat sebagian provinsi di Indonesia sudah memasuki kemarau, hujan masih sering mengguyur Ranah Minang.
Bagi masyarakat Nagari Adat Sijunjung, hujan adalah berkah. Cuaca dingin merupakan waktu yang tepat untuk menikmati sensasi hangatnya tidur di atas "balobeh".
"Balobeh" adalah semacam anjungan atau lantai yang agak ditinggikan di dalam ruangan Rumah Gadang. Biasanya terletak di sisi kiri atau kanan.
Fungsinya mirip dengan rangkiang (bangunan bagian dari Rumah Gadang untuk menyimpan padi, tetapi letaknya terpisah dari bangunan utama). Sebagian Rumah Gadang saat ini masih memiliki rangkiang. Rangkiang juga bisa dilihat di Istano Pagaruyung di Tanah Datar.
Meskipun demikian, ternyata tidak semua Rumah Gadang menggunakan rangkiang. Rumah Gadang di Nagari Adat Sijunjung tidak memiliki rangkiang. Fungsinya digantikan oleh "balobeh".
"Balobeh" menjadi ruangan khusus untuk menyimpan padi di dalam Rumah Gadang. Masyarakat Nagari Sijunjung jarang sekali menjual padi hasil panen mereka. Padi yang dipanen biasanya dibawa ke Rumah Gadang lalu disimpan di "balobeh" sebagai cadangan pangan untuk penghuni rumah.
Padi itu hanya dikeluarkan jika ada kebutuhan mendesak. Begitu kearifan lokal yang diajarkan nenek moyang yang masih mereka pegang hingga saat ini. Karena itu, harga beras yang naik tidak begitu dirasakan efeknya di Nagari Sijunjung. Di daerah itu juga tidak pernah terjadi kemiskinan ekstrem.
Hawa dan wangi aroma padi akan menguap ke atas "balobeh" yang ditutupi susunan papan dan alas tikar pandan. Saat cuaca dingin, tidur di atas "balobeh" itu memberikan sensasi yang luar biasa. Hangat. Nikmat yang tidak akan terlupakan.
Sensasi tidur di atas "balobeh" itu adalah salah satu yang ditawarkan oleh Nagari Adat Sijunjung pada wisatawan yang datang berkunjung dan memilih menginap di dalam Rumah Gadang.
Ketua Kerapatan Adat Nagari Sijunjung Candra Irawan mengatakan ada sekitar 76 Rumah Gadang yang ada di Nagari Sijunjung. Letaknya berjejer membentuk garis lurus mengapit jalan aspal yang terletak di tengah membelah perkampungan.
Sebanyak 40 di antara Rumah Gadang itu telah difungsikan sebagai rumah inap, sehingga wisatawan bisa menikmati sensasi tidur di rumah adat kebanggaan masyarakat Minangkabau itu.
Laiknya sebuah rumah inap, Rumah Gadang di daerah itu telah dilengkapi dengan toilet yang bagus, sebagian malah berupa closed duduk, sehingga wisatawan tidak perlu cemas untuk urusan buang hajat.
Untuk bisa menginap di rumah inap itu Rumah Gadang, wisatawan harus merogoh kocek Rp300 ribu per malam untuk 5 orang. Harga itu flat untuk wisatawan yang menginap kurang dari 5 orang.
Jika jumlahnya lebih dari lima orang, maka dikenai tambahan biaya Rp50 ribu per orang.
Harga itu khusus untuk menginap dan teh atau kopi pagi. Untuk sarapan dikenai tambahan Rp15 ribu per orang dan untuk makan Rp25 ribu per orang.
Untuk menginap di Rumah Gadang, ada beberapa hal yang wajib dipatuhi, di antaranya wisatawan yang bukan keluarga (suami, istri, dan anak), tempat menginap untuk laki-laki dan perempuan akan dipisah.
Selain itu, menurut Ninik Mamak Nagari Sijunjung, Irham Tobo Khatib Rajo, jika ingin mengikuti acara adat, wisatawan laki-laki wajib menggunakan peci dan perempuan menggunakan kain samping. Peci dan kain itu disediakan oleh penghuni Rumah Gadang.
Sekretaris Dinas Pariwisata Pemuda Olahraga Sijunjung Desmawati menjamin pengalaman tak terlupakan akan didapat wisatawan jika menyempatkan menginap di Rumah Gadang.
Di sana, wisatawan benar-benar diajak untuk merasakan dan bergaul dalam keseharian masyarakat Minangkabau. Mengenal dan mengecap kuliner tradisional.
Jika datang saat musim panen padi, maka wisatawan bisa menikmati suasananya panen di sawah, sekaligus menikmati kuliner khas, seperti rendang belalang.
Rendang belalang memang bukan kuliner yang bisa ditemui setiap hari di Nagari Sijunjung. Rasanya khas, seperti jagung bakar. Sebagian menyebut rasanya mirip ayam bakar.
Bagi yang tidak mau mencoba, masih ada kuliner khas lain yang bisa dinikmati. Khas masakan kampung.
Objek wisata itu juga memiliki penganan yang biasanya dikemas sebagai oleh-oleh, salah satunya gelamai. Membuat gelamai untuk oleh-oleh menjadi pendapatan sampingan bagi masyarakat, sekaligus untuk memperkuat branding objek wisata.
Jika ingin tahu bagaimana proses membuat gelamai, wisatawan juga bisa ikut merasakan sensasi membuatnya bersama masyarakat setempat, juga mencicipi rasanya yang manis.
Gelamai mirip dengan dodol. Warnanya coklat pekat dengan tekstur yang lembut dan sedikit berminyak.
Aktivitas menenun juga menjadi atraksi yang menarik untuk dinikmati. Selain itu, juga bisa dicoba atau sekadar digunakan sebagai properti untuk mempercantik foto.
Sementara pada malam hari, wisatawan juga bisa memilih untuk mengikuti kegiatan belajar silat bersama masyarakat setempat. Ada pakaian khusus yang disediakan bagi wisatawan yang ingin ikut mencicipi belajar ilmu beladiri dari Ranah Minang itu.
Juara I ADWI
Potensi wisata yang disimpan Nagari adat Sijunjung membuatnya masuk dalam nominasi 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2023 dan berhasil menjadi juara I kategori Desa Wisata Berkembang.
Nagari Adat Sijunjung berhasil mengalahkan juara dua Kandis Purbayan (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan juara tiga Kwau (Manokwari, Papua Barat).
Setelah berhasil menggaungkan nama di tingkat nasional, Nagari Adat Sijunjung tidak berhenti untuk berinovasi, bersolek guna menarik minat wisatawan untuk datang.
Rencananya ke depan, penggunaan kendaraan bermotor dibatasi di dalam kawasan perkampungan, diganti dengan transportasi tradisional, seperti andong atau pedati.
Jalan-jalan di nagari adat itu juga akan disesuaikan, dengan mengedepankan ciri tradisionalnya.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024