Yang lebih penting adalah bukan anak siapa, keponakan siapa, kakak siapa, tetapi kemampuannya apa? Kecakapannya apa? Prestasinya apa?

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia Anas Urbaningrum mengatakan Rancangan Undang-Undang Pilkada yang sedang dibahas Komisi II DPR perlu memuat ketentuan yang berbasis budaya meritokrasi politik dan melarang tradisi dinasti politik.

"Meritokrasi ini kebutuhan sistem politik modern, maka dari itu di RUU Pilkada yang sedang dibahas, perlu dimuat dasar-dasar untuk ini (meritokrasi politik)," kata Anas setelah sebuah diskusi di Jakarta, Jumat.

Meritokrasi merupakan bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada figur-figur yang berprestasi atau berkemampuan. Meritokrasi merupakan budaya politik yang dinilai berseberangan dengan dinasti politik, yang mengutamakan hubungan darah dan keluarga.

Anas menekankan meritokrasi politik merupakan budaya yang menerapkan nilai-nilai penting mengenai kecakapan dan prestasi seseorang untuk diberi sebuah jabatan dan tanggung jawab dalam struktur kekuasaan.

Menurut Mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrasi tersebut, dalam RUU Pilkada nanti, perlu aturan-aturan yang mendukung adanya perekrutan calon legislatif dan calon pemimpin dengan prioritas akan prestasi dan kemampuan bukan hubungan darah.

Maka dari itu, kata Anas, perlu diatur calon anggota legislatif dan calon pemimpin tidak memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan kepala daerah tersebut, kecuali dengan usulan selang waktu.

"Yang lebih penting adalah bukan anak siapa, keponakan siapa, kakak siapa, tetapi kemampuannya apa? Kecakapannya apa? Prestasinya apa? Jadi, jika soal meritokrasi itu harus diatur juga dengan seperti Pak Presiden bilang mengenai `kepatutan dan kepantasan`," katanya.

Sebelumnya, anggota Komisi II DPR RI Malik Haramain mengatakan bahwa semua fraksi telah menyetujui larangan pembatasan keterkaitan hubungan darah antara calon pemimpin dan legislatif dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Malik mengatakan, dalam pasal di RUU Pilkada, akan diatur calon kepala daerah tidak memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan kepala daerah tersebut, kecuali dengan usulan selang waktu lima tahun.

Namun, dalam RUU Pilkada nanti, lanjut Malik, tetap diatur pertimbangan hak-hak warga sipil sepenuhnya dalam berpolitik. (I029/D007)

Pewarta: Indra A. Pribadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013