Kalau laut dikelola dengan baik sudah bisa menutup APBN, bahkan masih sisa banyak dan bisa menutup defisit...Magelang (ANTARA News) - Guru besar sejarah Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, menyatakan potensi kelautan Indonesia bila dikelola dengan benar nilainya 10 kali lipat APBN sekarang yang besarnya Rp1.300 triliun.
"Padahal, untuk memenuhi APBN tersebut sebagian harus utang. Kalau laut dikelola dengan baik sudah bisa menutup APBN, bahkan masih sisa banyak dan bisa menutup defisit," katanya di Magelang, Jumat.
Ia mengatakan hal tersebut pada seminar dengan tema " Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, Kolonial, dan Poskolonial" yang diselenggarakan dalam kegiatan "Borobudur Writers & Cultural Festival 2013".
Lebih lanjut dia mengatakan, hal tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa.
"Kalau belajar dari sejarah Indonesia, kita bisa mengkonsep untuk merealisasikan negara maritim itu seperti apa karena 80 persen wilayah Indonesia adalah laut," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia adalah negara laut bukan sekadar negara kepulauan. Kalau negara kepulauan adalah negara pulau-pulau yang mempunyai laut. Sedangkan Indonesia adalah negara laut yang di dalamnya ada daratan-daratan sehingga seharusnya paradigma utama adalah membangun negara laut.
Ia mengatakan, sistem perdagangan di Nusantara yang berbasis rempah-rempah berkembang sejak abad ke-8 hingga 16 Masehi yang relatif damai, namun setelah berkembang imperialisme dan kapitalisme di Eropa kemudian mereka melakukan ekspansi ke Asia untuk mencari rempah-rempah secara langsung.
"Mereka berbondong-bondong melakukan penjelajahan samudera maka sistem perdagangan Asia yang relatif damai kemudian mengalami shock berat dengan kedatangan pedagang yang semi militer, kapal-kapal dagang yang dilengkapi moncong meriam," katanya.
Ia mengatakan, kekuatan tersebut akhirnya bisa menghancurkan pusat-pusat ekonomi, politik, dan kebudayaan di Asia termasuk Indonesia sehingga sistem perdagangan yang damai diganti dengan sistem perdagangan bersenjata. Dan karena ketidaksiapan rezim yang berkembang di Nusantara pada waktu itu akhirnya satu demi satu jatuh ke dalam kontrol kekuatan kapitalisme dan kolonialisme barat.
Pembicara lainnya, Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Riza Damanik, mengatakan, kolonialisme telah bermetamorfosis menjadi kontrol ekonomi melalui instrumen bilateral maupun multilateral, seperti IMF, perjanjian investasi BITs, dan perdagangan internasional di bawah WTO sehingga terjadi kompetisi terbuka dan timpang yang menjadikan laut sebagai komoditas baru ekonomi global.
Pada kondisi tersebut, katanya, masyarakat semakin tereliminasi di dalam negaranya sendiri, apalagi negara kepulauan seperti Indonesia, perangkat berbagai instrumen kolonialisme baru telah bekerja efektif menjauhkan rakyat Indonesia dari laut, termasuk menenggelamkan kebudayaan baharinya.
Menurut dia, untuk mengembalikan kejayaan Indonesia di laut harus diawali dengan keberanian keluar dari sandera berbagai perjanjian regional maupun internasional yang mengikat Indonesia, kemudian pemenuhan hak-hak masyarakat tradisional dan masyarakat hukum adat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pewarta: Heru Suyitno
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013