Ratusan pengungsi Suriah tersebut tidak dapat mencapai tujuan di bagian Eropa utara karena kebijakan pengetatan perbatasan.
Sebagian besar dari mereka tiba di Italia melalui Pulau Lampedusa, tempat tenggelamnya kapal kembar yang menewaskan lebih dari 400 migran.
"Kami meninggalkan kota Homs lima bulan yang lalu," kata perempuan berusia 29 tahun yang tidur di stasiun kereta api bersama suami dan dua anak perempuannya (berusia 10 dan 12 tahun).
"Kami sampai di sini melalui Yordania, Mesir, dan kemudian sempat tinggal tiga bulan di Libya," kata dia yang tidak disebut namanya oleh AFP.
"Kami sampai di Lampedusa pada 3 Oktober," kata perempuan tersebut. Pada hari dia sampai di Pulau Lapedusa, sebanyak 364 pencari suaka dari Eritrea dan Somalia tewas karena kapalnya tenggelam.
Salah satu perempuan asal Suriah tinggal di stasiun kereta api Milan bahkan terpaksa melahirkan anaknya di kapal menuju Lampedusa. Saat ini, dia ditempatkan di perumahan sementara Milan.
Beberapa organisasi amal lokal membantu para pengungsi itu. Mereka mendistribusikan makanan hangat dan menyediakan pakaian serta selimut. Dewan Kota Milan pada Kamis membentuk "unit penanganan krisis" khusus untuk menangani situasi tersebut.
"Para pengungsi mulai membanjiri stasiun beberapa hari yang lalu. Sebelumnya, sekitar 30-40 pengungsi hanya menetap satu malam di sini sebelum pergi keesokan harinya," kata kepala badan amal Fodazione Progetto, Alberto Sinigallia, kepada AFP.
"Namun sejak saat itu, perbatasan di Swiss, Austria, dan Prancis ditutup," kata dia.
Dia mengatakan ada sekitar 150 pencari suaka dari Suriah yang tinggal di stasiun. Namun pada Jumat, angka tersebut diperkirakan naik menjadi 220.
Salah seorang ayah dari keluarga pengungsi mengatakan bahwa mereka ditahan oleh polisi Austria saat mencoba menuju Jerman melewati Austria dengan kereta api. Mereka kemudian dikembalikan lagi ke Italia.
Menurut aturan di Uni Eropa, para pencari suaka harus tetap berada di negara tempat mereka tiba untuk pertama kalinya di Eropa selama pengajuan permohonan suakanya dipertimbangkan.
"Sebelumnya mereka menginginkan kehidupan yang baru dan mereka sangat optimis. Sekarang, mereka kehilangan uang dan harus berada di negara yang tidak diinginkan," kata Sinigallia.
Juru bicara dewan kota Milan Gabriella Polifroni mengatakan, "Pada awalnya kami mencoba untuk memasukkan mereka di hotel dan apartemen, namun mereka menolak karena tidak ingin tinggal di Italia ataupun Milan."
"Kami tidak memaksa mereka untuk tinggal," kata Polifroni dikutip AFP.
(G005)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013