Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Mahkamah Agung(MA) Bidang Yudisial Sunarto bersama 11 pakar hukum adat yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia membahas problematika pengaturan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law) pasca-KUHP baru.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), produk hukum anak bangsa ini mulai berlaku mulai 2 Januari 2026.
Sebelum menyerahkan 10 rekomendasi APHA kepada Wakil Ketua MA Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis pagi, Ketua Umum APHA Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. menjelaskan bahwa audiensi sekaligus penyerahan rekomendasi tentang isu strategis nasional mengenai hukum adat dan masyarakat hukum adat merupakan tindak lanjut dari seminar nasional bertema Dinamika Peradilan Adat di Indonesia Pasca-Berlakunya KUHP Baru.
Seminar nasional yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, 17—18 Februari 2024, kata Prof. Laksanto, atas kerja sama APHA dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.
Guru Besar Rr.Unpar Catharina Dewi Wulansari mengemukakan bahwa keberlakuan peradilan adat dalam penyelenggaraannya atas tiga prinsip, yakni kearifan lokal, keadilan sosial, dan hak asasi manusia (HAM).
Terkait dengan hak asasi manusia, kata Prof. Rr. Catharina, menyangkut cara pandang universalitas HAM, nondiskriminasi, kesetaraan, pemartabatan manusia, serta menempatkan tanggung jawab negara dalam melindungi HAM.
Adapun prinsip kearifan lokal, lanjut dia, penyelenggaraannya atas dasar tradisi yang telah dipertahankan dan dapat diterima luas di tengah masyarakat adat secara turun-temurun.
Prof. Dewi lantas menjelaskan bahwa prinsip keadilan sosial, yakni mengedepankan terwujudnya rasa keadilan yang dirasakan sangat penting di tengah masyarakat keberlakuannya, atau suatu yang punya kebermaknaan sosial.
Selain Prof. Laksanto dan Prof. Dewi, hadir pula Prof. H. Faisal Santiago dari Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Abrar Saleng dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dan Prof. Rosnidar Sembiring dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
Baca juga: PBNU: Living law tidak sebatas hukum adat tapi kebiasaan keagamaan
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024