Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan Pilkada di Aceh mendatang serta UU Pemerintahan Aceh (UUPA)yang baru saja disetujui DPR akan menjadi kunci terciptanya perdamaian abadi di Aceh pasca penandatanganan kesepakatan damai di Helsinski 15 Agustus 2005 lalu. "Pencarian bagi sebuah perdamaian abadi juga akan lebih kokoh saat kita mencapai pijakan penting berikutnya ke depan, yaitu Pilkada di Aceh yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat, sesuai dengan kesepakatan Helsinski dan UUPA yang baru saja disetujui DPR," kata Presiden pada Konferensi Internasional di Hotel Shangri-La Jakarta, Senin. Konferensi yang bertema "Membangun Perdamaian Abadi di Aceh: Satu Tahun Pasca Kesepakatan Helsinki" itu diselenggarakan oleh The Indonesian Council on World Affairs (ICWA) dan dihadiri antara lain oleh para juru runding Indonesia dan GAM serta mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Presiden Yudhoyono menegaskan perdamaian abadi adalah tantangan terbesar yang saat ini dihadapi pasca terciptanya perdamaian yang sulit dimenangkan sebelumnya, yaitu setelah konflik yang berjalan selama 30 tahun. Ia menyatakan keyakinannya kendati tantangannya berat, Indonesia, termasuk Aceh, akan mampu mencapai perdamaian abadi itu. "Perdamaian yang abadi juga membutuhkan kepemimpinan politik masyarakat Aceh guna mendorong lahirnya kemampuan untuk bergotong royong dalam format politik Aceh yang baru," ujar Yudhoyono. Menurut dia, rakyat Aceh juga saat ini sudah dapat bercerita kepada dunia bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan pertikaian berdarah yang telah berlangsung selama 30 tahun. "Mereka menyanggah pandangan bahwa Indonesia tengah mengarah pada suatu proses Balkanisasi, sebuah teori yang cukup populer beberapa tahun silam. Sebagai hasil dari perdamaian Aceh, Indonesia saat ini lebih utuh, bersatu, solid dan damai," katanya.Kita memenangi perdamaian Rakyat Aceh, ujarnya, juga dapat menjadi inspirasi bagi dunia yang saat ini sedang bergejolak, yang diwarnai oleh pertaikaian yang merebak. Ia menyebut perdamaian masih suram di sejumlah negara, yaitu Libanon, Palestina, Sri Lanka, Sudan, Irak, Afghanistan dan Nepal. Dunia, ujarnya, dapat kembali diingatkan bahwa sebuah pertikaian sungguh dapat berakhir secara bahagia seperti apa yang dialami rakyat Aceh yang kini bersatu, bermartabat dan maju. "Saya tidak tahu siapa yang sesungguhnya memenangkan pertikaian ini, namun yang saya ketahui kita semua telah memenangkan perdamaian ini," katanya. Sebelumnya, Presiden memaparkan ada sejumlah hal yang bisa dipelajari dari perdamaian Aceh. Pertama bahwa semua konflik, betapa sulit dan rumitnya, pasti dapat diselesaikan. "Dalam hati saya percaya bahwa meski setiap konflik adalah unik dan memiliki dinamika serta kompleksitasnya tersendiri, tetapi setiap konflik adalah memungkinkan untuk diselesaikan secara damai. Hal ini telkah terbukti di Aceh," katanya. Kesepakatan damai Aceh, katanya, juga menunjukkan kekuatan "win win solution" dan ia menganggap langkah terbaik untuk memastikan sebuah akhir yang permanen adalah melalui kompromi politik, di mana kedua belah pihak memiliki hak yang sama atas jalan keluar serta pelaksanaannya. Pelajaran berharga lainnya, menurut Yudhoyono, adalah bahwa perdamaian merupakan hal yang berisiko, namun sebuah risiko yang layak ditempuh. "Penolakan senantiasa merupakan bagian dari suatu proses perdamaian," ujarnya. Dalam proses perdamaian, Yudhoyono mengingatkan, para pemimpin juga harus dapat menilai risiko, membuat perhitungan, memutuskan apakah mereka mengambil risiko dan ketika melakukannya mereka harus memberikan sepenuhnya sumber daya dan dukungan politik kepada proses perdamaian.Pesan pemimpin dunia Di awal acara pembukaan konferensi, sejumlah tokoh dunia menyampaikan pesan baik yang ditayangkan melalui video maupun yang dibacakan oleh perwakilan mereka di Jakarta. Pesan antara lain datang dari Sekjen PBB Kofi Annan, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Australia John Howard, Presiden Finlandia Tarja Halonen, PM Jepang Junichiro Khoizumi, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, PM Inggris Tony Blair, serta mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Mereka menyatakan selamat kepada pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang telah mencapai perdamaian melalui penandatangan MoU di Helsinski. PM Khoizumi mengemukakan setiap masalah berkaitan dengan Aceh harus diselesaikan dengan jalan damai dan dalam kerangka NKRI. Sementara itu, PM Inggris dan PM Malaysia menyatakan proses perdamaian di Aceh menjadi model bagi negara lain dalam upaya menyelesaikan masalah di wilayah mereka. Para pemimpin dunia itu menjanjikan akan terus mendukung proses rekonstruksi di Aceh. (*)
Copyright © ANTARA 2006