Mundurnya usia pernikahan menjadi fenomena baru di tengah upaya BKKBN menurunkan prevalensi stunting

Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi (Adpin) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sukaryo Teguh Santoso menyebutkan data penurunan angka pernikahan di Indonesia perlu dikaji kembali secara lebih komprehensif.

"Sumber datanya harus clear (jelas), apakah lembaga-lembaga yang menyelenggarakan perkawinan melaporkan atau tidak, kan ada kantor urusan agama (KUA), keuskupan, dan lembaga lainnya, apakah perkawinan yang saat ini tercatat atau tidak, sebab ada juga perkawinan yang dilakukan di bawah tangan, meski hukum kita menganut hukum positif," ujar Teguh dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Baca juga: BKKBN: Hubungan seksual di luar nikah meningkat perlu diwaspadai

Teguh mengatakan, mundurnya usia pernikahan menjadi fenomena baru di tengah upaya BKKBN menurunkan prevalensi stunting.

Ia juga menjelaskan, BKKBN tidak memiliki data atau penelitian terkait fenomena penurunan perkawinan di beberapa daerah, sehingga pihaknya meminta data tersebut dikaji secara lebih komprehensif.

"Penyebab lain yang harus dikaji adalah aspek psikologi, sosial, juga ekonomi. Pasalnya, ada beberapa pendapat yang mengatakan karena beban hidup semakin tinggi menyebabkan orang enggan menikah," kata dia.

"Melalui riset yang pernah saya adakan di Jawa Barat, orang menikah itu karena ada persoalan ekonomi keluarga, karena itu dinikahkan. Fenomena sekarang kami belum paham betul," imbuhnya.

Menurutnya, penyebab lain pasangan muda enggan menikah salah satunya yakni telah berkarier dengan baik, sehingga sudah merasa cukup mapan meski tanpa melangsungkan pernikahan.

Baca juga: BKKBN: Jangan pisahkan Program KB dengan pencegahan stunting

"Jadi enggak mau ribet," ucapnya.

Untuk itu, Teguh meminta agar penurunan angka pernikahan harus didukung data yang komprehensif yang dikaji dari berbagai perspektif.

"Untuk melihat fenomena penurunan jumlah perkawinan saat ini, perlu dikaji dari berbagai perspektif dan sumber, sehingga trennya terlihat jelas, karena gereja pun (tidak hanya Islam di KUA), dan tempat ibadah lain, juga menyelenggarakan perkawinan yang tercatat di catatan sipil," tuturnya.

Ia menekankan, apabila data terkait angka pernikahan tersebut sudah komprehensif, maka bisa digali berbagai aspek lain mengapa orang enggan menikah.

Teguh juga menegaskan, pemerintah dan seluruh masyarakat mesti lebih memperhatikan perilaku hubungan seksual di luar nikah yang kecenderungannya meningkat, meski angka pernikahan menurun.

Hal tersebut, kata dia, dapat mempengaruhi kualitas penduduk apabila tidak didukung dengan pemahaman tentang kesehatan reproduksi.


Baca juga: BKKBN: Bayi rentan stunting saat perpindahan ASI eksklusif ke MPASI

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2024