Jakarta (ANTARA News) - Pakar politik lulusan Cornell University, Daniel Dhakidae, menganggap rasa nasionalisme Indonesia telah menurun dibanding satu dasawarsa lalu dan justru saat ini timbul gejala etnonasinalisme. "Gerakan separatis yang dulu timbul di Timor-Timur, baru-baru ini di Aceh dan sekarang di Papua, adalah wujud nyata dari munculnya etnonasionalisme," kata Daniel kepada ANTARA, di Jakarta, baru-baru ini. Etnonasionalisme, ungkap Dakidae, adalah perasaan satu nasib yang timbul dalam satu komunitas etnis. Dakidae mengandaikan nasionalisme seperti bangunan besar dari komunitas etnonasionalisme yang menyatu (atau disatukan) menjadi bangunan komunitas etnis dalam cakupan yang lebih besar. Ahli politik yang juga aktif menulis dan melakukan penelitian ini memercayai nasionalisme sebagai bentukan dari komunikasi antar personal. Dari komunikasi antar personal ini kemudian terbentuk komunitas etnis yang mempunyai pandangan sama, sedarah dan senasib, dari satu garis keturunan. Komunitas etnis inilah kemudian membentuk nasionalisme dalam cakupan etnis yang lebih luas bernama nasionalisme. Hubungan antara nasionalisme satu dengan nasionalisme lainnya akhirnya juga membentuk sesuatu yang dinamakan universal-nasionalisme. "Paham yang menganggap diri bagian dari warga dunia," Daniel menjelaskan. Rasa etnosentrisme yang menjadi cikal bakal nasionalisme itu akan terbentuk jika komunikasi antar etnis mencukupi. Syarat lainnya, kata Dakidae, harus timbul perasaan satu nasib. Anggota pendiri Indonesian Corruption Watch ini mengganggap nasionalisme di Indonesia baru terbentuk baru-baru saja, sekitar satu dasawarsa terlewat, sejak komunikasi antar warga jadi semakin mudah dan cepat. Ia mengatakan, faktor utama yang berpengaruh dalam membentuk baik etnonasionalisme, nasionalisme atau universalnasionalisme adalah keintiman, kemudahan dan kecepatan komunikasi. Revolusi komunikasi hasil inovasi teknologi membuat hubungan antar personal lebih mudah tanpa memandang jarak. Tapi sebelum nasionalisme Indonesia terbentuk kuat, semakin mudah komunikasi bisa dilakukan hampir tanpa jarak, membuat beberapa daerah menyadari adanya bentuk ketidakadilan. Rasa nasionalisme akhirnya terpecah lagi menjadi etnonasionalisme, terbukti dengan adanya komunitas-komunitas etnis yang berkembang justru di jaman komunikasi serba cepat dan mudah. "Sekarang ini, pemegang kekuasaan pusat negeri ini tidak bisa menganggap remeh orang-orang Papua. Dengan tren semakin canggihnya teknologi komunikasi,orang Papua yang berada di tanah mereka bisa berhubungan langsung dengan orang Papua di Jakarta, di seluruh Indonesia bahkan di ujung-ujung dunia," ujarnya, mantap. Ia menyimpulkan, selama daerah merasa ada ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat pada mereka, etnonasionalisme akan muncul menggerogoti nasionalisme menjadi keping-kepingan terpecah belah. (*)
Copyright © ANTARA 2006