Jakarta, (ANTARA News) - Menyikapi luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan beberapa Universitas sedang berusaha mencari cara memisahkan air dan lumpur. "Kami bekerjasama dengan beberapa Universitas, terutama ITS sedang mengusahakan sesuatu untuk menetralkan air dalam lumpur," kata Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar di sela acara pembukaan pameran lukisan karya Cak Kandar yang bertema lingkungan hidup, di Jakarta, Sabtu (12/8). Menteri mengatakan, untuk sementara ini cara pemisahan air dan lumpur merupakan cara paling efektif mengalirkan lumpur ke laut. Bekerjasama dengan Institut Teknologi Surabaya dan beberapa Universitas lainnya di Surabaya KLH sedang berusaha memisahkan air dan lumpur. Lumpur yang masih mengandung air, kata dia, sebelumnya akan diarahkan ke sebuah tanggul baru. Lalu lumpur itu disaring dan diambil airnya untuk kemudian dinetralisir. Air yang sudah ternetralisir itu, kata dia, sudah ramah lingkungan sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi bahkan minum. Namun bisa juga hanya dialirkan ke sungai agar terbawa ke laut. Ia mengatakan saat ini telah ada tanggul alami seluas 342 hektare. KLH memperkirakan, dengan jumah volume lumpur yang dikeluarkan saat ini, tanggul alami itu dapat menampung lumpur hingga lebih tiga bulan ke depan. Menurut Rachmat, dari hasil penelitian para ahli dalam tiga bulan semburan lumpur itu sudah akan selesai. Namun untuk berjaga-jaga jika dalam tiga bulan ke depan semburan lumpur belum bisa dihentikan (ditutup), maka KHL telah mengantisipasi untuk menampung lumpur hingga sembilan bulan ke depan. "Lahan untuk itu sudah ada dan dipersiapkan, mampu untuk menampung lumpur hingga 9 bulan sementara masalah dari sumber lumpur diatasi," katanya. Sementara itu, lahan yang dipergunakan untuk pembuatan kolam penampungan lumpur Sabtu ini sudah disewa oleh PT Lapindo Brantas. Lahan tersebut terletak di Desa Besuki seluas 11,6712 ha milik 65 orang. Sedangkan, di Desa Kedungcangkring seluas 12,778 ha milik 74 orang. Sebelumnya, pada Kamis (10/8) KLH menyatakan tidak setuju jika lumpur dibuang ke sungai Porong atau ke laut. Menurut Rachmat, jika dilakukan maka hal itu sama saja dengan memindahkan perkara menjadi lebih parah karena jika lumpur itu berada di laut maka akan sulit dikontrol. Jika sudah berada di laut, ia khawatir lumpur itu nantinya akan "bergentayangan" ke wilayah Muncar, Tanjung Perak, Madura atau Bali. Sementara ahli pengeboran dari Institut Teknologi Bandung, Dr Ing Ir Rudi Rubiandini RS mengusulkan, cairan lumpur Lapindo atau lumpur yang sudah menjadi cairan hendaknya dibuang ke sungai Porong, meski sejumlah ahli lingkungan hidup menolaknya. "Itu pilihan yang sulit. Apakah kita memilih untuk menyelamatkan manusia dengan membuang lumpur yang sudah benar-benar cair ke sungai Porong, atau kita membuat penampungan tapi luapan terus membesar dan jika musim hujan akan menimpa manusia," ujarnya. Ketua Tim Investigasi Independen dari Kementerian ESDM itu menjelaskan, luapan air panas dari kedalaman 6.150 hingga 8.500 ft (feet/kaki) dari sumur Banjarpanji-1 di Siring itu kini semakin membesar, akibat pasir dan silt yang dilewati aliran lumpur itu semakin tergerus dan membentuk lobang yang kian besar. "Jadi, kita kejar-kejaran dengan waktu. Kita tidak mungkin menghentikan luapan lumpur dengan menutup sumur Banjarpanji-1 (BJP-1) begitu saja. Sebab kalau itu dilakukan, justru akan menimbulkan luapan di titik lain, karena itu kita perlu mencari titik sumber luapan lumpur itu," tegasnya. Hingga saati ini titik sumber lumpur itu belum ditemukan, sedangkan Meneg LH melarang keras lumpur dialirkan baik ke sungai Porong maupun melalui pipa ke laut jika belum melalui proses penormalan air. Terpaksa menetujui Sementara itu pada Jumat (11/8) Menteri Negara Lingkunan Hidup, Rachmat Witoelar mengatakan pihaknya terpaksa menyetujui lumpur hasil pemboran PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur dibuang ke laut dengan syarat harus sudah diolah menjadi air normal. "Kementerian lingkungan hidup tidak menyetujui lumpur itu dibuang ke laut tetapi kalau terpaksa lumpurnya harus sudah diolah atau dipisahkan hingga menjadi air normal," katanya usai sidang kabinet di Kantor Presiden Jakarta, Jumat malam. Dijelaskannya, pemerintah memberikan waktu selama tiga bulan untuk terlebih dahulu membuat waduk di sekitar semburan lumpur guna menampung luapan lumpur tersebut sambil menunggu upaya penghentian luapan lumpur. Namun jika semburan terseut tidak bisa dihentikan dan waduk yang dibuat tidak mampu menampung selama tiga bulan ini maka lumpur tersebut akan dialirkan ke laut melalui pipa sepanjang 14 km. "Untuk mengalirkan lumpur ke laut lumpurnya sudah harus dipisahkan sehingga bukan lagi lumpur tetapi air normal seperti air hujan atau air laut yang tidak berbahaya," katanya. Saat ini pihak Lapindo Brantas sudah mulai menyiapkan pipa yang akan digunakan untuk menyalurkan air dari lumpur tersebut. Menurut Rachmat biaya untuk pembuatan waduk dan pipa pembuangan lumpur ke laut semuanya menjadi tanggungan PT Lapindo dan tidak ada sama sekali uang negara yang dikeluarkan.(*)

Copyright © ANTARA 2006