"Pemerintah sedang melakukan negosiasi untuk mendapatkan dukungan anggaran tambahan dengan negara-negara G7 lainnya, khususnya Jepang dan Kanada. Kami juga mempertimbangkan pengurangan pengeluaran non-militer secara signifikan," kata Pidlasa kepada surat kabar Financial Times.
Ukraina, dengan anggaran negara sebesar 87 miliar dolar AS (sekitar Rp1,34 kuadriliun) pada 2024, telah mengalokasikan hampir setengahnya untuk pengeluaran terkait pertahanan. Namun, pendapatan domestik tidak melebihi 46 miliar dolar AS (Rp712,5 triliun).
Gelombang mobilisasi tentara yang mungkin terjadi diperkirakan akan semakin memperlebar defisit anggaran negara, karena dibutuhkan miliaran dolar untuk gaji, pelatihan dan peralatan, lapor surat kabar tersebut.
Kiev memiliki "Rencana A" untuk mulai menerima bantuan keuangan dari AS dan Uni Eropa pada Januari. Namun, penundaan pendanaan memaksa Ukraina beralih ke "Rencana B" dan bahkan "Rencana C", kata Pidlasa.
Kiev juga bersiap untuk mengulangi situasi serupa pada 2025, kata seorang pejabat senior Ukraina yang tidak disebutkan namanya itu kepada surat kabar tersebut.
Pada Sabtu (9/3), stasiun penyiaran NBC News melaporkan dengan mengutip pejabat majelis rendah AS, bahwa anggota parlemen AS dari Partai Republik saat ini sedang mengerjakan paket bantuan alternatif untuk Kiev, yang mungkin sebagian akan ditawarkan dalam bentuk pinjaman.
Kongres AS belum mendukung permintaan tambahan dana sebesar 60 miliar dolar (sekitar Rp929,3 triliun) untuk Kiev dari pemerintahan Presiden AS Joe Biden, karena posisi mayoritas Partai Republik di Dewan Perwakilan Rakyat AS.
Dana yang dialokasikan sebelumnya telah habis pada Desember lalu, dan paket bantuan militer yang diumumkan sebelumnya sedang dikirim ke Ukraina untuk memenuhi komitmen lama.
Sebelumnya pada Februari, pemerintahan Biden memperingatkan bahwa Ukraina berisiko mengalami kerugian lebih lanjut dari Rusia di medan perang jika anggota Kongres gagal memberikan lebih banyak bantuan.
Negara-negara Barat telah memberikan bantuan militer dan keuangan ke Kiev sejak dimulainya operasi militer Rusia di Ukraina pada Februari 2022. Kremlin secara konsisten memperingatkan agar tidak melanjutkan pengiriman senjata ke Kiev, dengan mengatakan hal itu akan menyebabkan eskalasi konflik lebih lanjut.
Pada April 2022, Rusia mengirimkan nota diplomatik ke seluruh negara NATO mengenai masalah pasokan senjata ke Ukraina.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov telah memperingatkan bahwa setiap kargo yang berisi senjata untuk Ukraina akan menjadi target sah dalam serangan Rusia.
Sumber: Sputnik
Baca juga: Menlu Hongaria: NATO harus cegah konfrontasi langsung dengan Rusia
Baca juga: Biden ungkap "kerja mati-matian" satukan NATO dukung Ukraina
Baca juga: Prancis rilis daftar senjata untuk Ukraina
Penerjemah: M Razi Rahman
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024