Jakarta (ANTARA) - Badan PBB untuk pemberdayaan perempuan, UN Women, mendorong pemerintah untuk memanfaatkan potensi ekonomi perawatan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus memaksimalkan pemenuhan hak bagi perempuan untuk bekerja.
"Khususnya selama COVID-19, ada semakin banyak perempuan, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, tiba-tiba harus melakukan banyak hal dalam pengasuhan, merawat orang sakit di rumah, dan melindungi mereka dari COVID-19," kata UN Women Indonesia Country Representative and ASEAN Liaison, Jamshed Kazi, dalam wawancara khusus dengan ANTARA, Kamis.
Kazi mengatakan bahwa perempuan mengambil lebih banyak tanggung jawab dalam urusan pengasuhan dan perawatan keluarga. Namun, mereka juga bertanggung jawab atas pekerjaan mereka.
"Jadi, kita harus memahami bahwa perempuan masih menginvestasikan 2,8 hingga hampir 3 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki dalam menangani tugas-tugas rumah tangga yang tidak dibayar dan cenderung diremehkan selama COVID-19," katanya dalam wawancara khusus untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2024.
Perempuan, kata dia, sering diharapkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjadi pengasuh, tanpa dibayar. Meski pada faktanya pekerjaan tersebut sebenarnya membutuhkan biaya yang besar.
Fakta tersebut juga dihadapkan pada banyaknya pemerintahan yang belum berinvestasi besar dalam ekonomi perawatan, misalnya dengan menyediakan lebih banyak fasilitas penitipan anak yang disubsidi dan kebijakan yang memungkinkan perempuan yang ingin bekerja untuk menitipkan anak mereka fasilitas umum atau swasta.
Fakta lainnya adalah bahwa sebagian dari perempuan di Indonesia dan di seluruh dunia yang memiliki anak dan bekerja, mereka tidak memiliki anggota keluarga lain yang bisa menjaga anak mereka, sehingga mereka terpaksa berhenti bekerja demi melakukan pekerja rumah tangga di rumah.
Padahal, jika pemerintah berinvestasi lebih pada ekonomi perawatan, maka potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari perempuan yang bekerja akan dapat mendongkrak perekonomian nasional secara signifikan.
Kazi menunjukkan bahwa saat ini hanya sekitar 54 persen perempuan yang berada di angkatan kerja dibandingkan dengan 83 persen laki-laki yang bekerja.
"Jadi ada kesenjangan sekitar 30 persen antara perempuan dan laki-laki di angkatan kerja. Kenapa ini terjadi? Padahal ini bukan karena kurangnya pendidikan pada perempuan," kata Kazi.
Kazi kemudian menjelaskan bahwa pada faktanya, banyak perempuan yang lulus kuliah, tetapi mereka tidak dapat menemukan pekerjaan yang layak setelah kuliah.
Dia menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena banyak perempuan menyadari bahwa setelah mereka memiliki anak, mereka dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit untuk mengasuh anak-anak mereka atau memilih untuk terus bekerja.
Lebih lanjut, Kazi juga menunjukkan bahwa ekonomi perawatan yang cenderung tidak dihargai sebenarnya secara global memiliki potensi ekonomi setara 10,7 triliun dolar AS (sekitar Rp167,1 kuadriliun).
"Itu adalah nilai tambah perempuan dalam perawatan rumah tangga. Nilai ini setara dengan delapan kali perekonomian Indonesia atau gabungan perekonomian India, Jepang dan Jerman. Sebesar itulah kontribusi perempuan terhadap ekonomi perawatan," katanya.
Oleh karena itu, UN Women mendorong pemerintah di seluruh dunia dan juga Indonesia untuk benar-benar mempertimbangkan nilai ekonomi yang dapat dihasilkan dari ekonomi perawatan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong hal itu adalah dengan membuat kebijakan yang lebih baik, yang memungkinkan perempuan untuk dapat bekerja sekaligus memudahkan perempuan untuk juga mengasuh dan merawat anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
"Jadi menurut saya ini adalah sesuatu yang perlu mendapat perhatian di tahun-tahun mendatang," demikian katanya.
Baca juga: UN Women: Butuh 236 tahun untuk capai kesetaraan gender
Baca juga: UN Women: pemberdayaan perempuan penting untuk pencapaian SDG
Baca juga: UN Women soroti pentingnya investasi bagi kesetaraan gender perempuan
Pewarta: Katriana
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024