Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Bagi anak-anak muda, informasi kekayaan Indonesia berupa alat musik, memang bisa dengan mudah didapatkan. Saat berkunjung ke suatu daerah, setidaknya akan dengan mudah mendapatkan informasi atau bahkan melihat langsung alat musik tradisional itu.

Alat musik tradisional Indonesia, dalam beberapa kali kesempatan juga ditampilkan pada acara-acara kenegaraan untuk memperkenalkan keragaman budaya Indonesia. Akan tetapi, Indonesia sesungguhnya juga memiliki sejarah menarik terkait perkembangan industri musik dalam negeri.

Industri musik saat ini, telah berkembang pesat, terutama akibat dorongan dunia digital. Pemanfaatan teknologi digital dengan memanfaatkan internet, mengubah bisnis industri musik di dunia dalam kurun waktu yang relatif singkat.

Kepala Museum Musik Indonesia (MMI) Ratna Sakti Wulandari menunjukkan salah satu koleksi museum berupa alat pemutar reel tape, di Museum Musik Indonesia, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (7/3/2024). ANTARA/Vicki Febrianto.

Saat ini, untuk menikmati musik sungguh sangat mudah. Berbekal telepon pintar dan jaringan internet, masyarakat bisa dengan cepat mendengarkan musik dari artis kesayangan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada sekitar tahun 1980-an.

Era industri musik di Indonesia, bisa dikatakan dimulai dengan piringan hitam yang kemudian berkembang menjadi reel tape, kaset, compact disc (CD) serta video compact disc (VCD). Setelah era CD dan VCD, industri musik berubah tanpa bentuk fisik.

Keberadaan piringan hitam hingga VCD, tentunya menyisakan cerita yang tidak bisa dilepaskan dengan perjalanan industri musik Indonesia dan dunia. Bagi generasi Z yang lahir pada rentang waktu 1997-2012, tidak semuanya mengenal yang namanya kaset.

Kaset merupakan wadah untuk menyimpan data suara yang biasanya berupa lagu atau musik dari para musisi. Kaset, yang berbentuk kotak kecil dan berisi pita magnetik tersebut, saat ini bisa dikategorikan sebagai barang jadul atau kuno.

Padahal, pada masanya, penggemar musik, baik anak-anak muda maupun orang dewasa di Indonesia, pernah menjadi kolektor kaset dari berbagai musisi kegemaran. Kaset diputar menggunakan sebuah alat yang diberi nama tape deck.

Bagi generasi muda yang sudah terbiasa dengan kehadiran pemutar musik digital, penggunaan kaset dan tape deck mungkin sulit untuk dibayangkan. Sehingga, tidak ada salahnya melirik dan mengenal barang-barang jadul itu untuk mengetahui perkembangan industri musik di Indonesia.

Sejumlah mahasiswa memperhatikan proses konservasi koleksi alat musik Museum Musik Indonesia di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (7/3/2024). ANTARA/Vicki Febrianto.

Mengenal MMI

Saat ini, piringan hitam, kaset, dan berbagai jenis alat pemutarnya sudah sangat jarang ditemui di pusat-pusat perbelanjaan. Hal itu tentu berbeda dengan kondisi pada tahun 1990-an, dimana hampir pada setiap pusat perbelanjaan, akan ada satu atau dua toko yang menjual kaset.

Untuk melihat dan mengenal kaset, piringan hitam dan berbagai barang yang memiliki nilai sejarah pada dunia musik Indonesia, masyarakat bisa berkunjung ke Museum Musik Indonesia (MMI) yang ada di Kota Malang, Jawa Timur.

Pada museum itu, masyarakat bisa secara langsung mengetahui bentuk asli kaset, piringan hitam, termasuk berbagai alat pemutarnya. Barang-barang koleksi museum itu, seolah membawa pengunjung merasakan pengalaman masa lalu dan geliat industri musik saat itu.

MMI, yang baru saja pindah ke Perumahan Griya Santa, Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru tersebut, diprakarsai oleh enam orang, yakni Retno Mastuti, Tutuk Rudiah, Hengki Herwanto, Mikael Agus Saksono, Luthfi Wibisono, dan Pongki Pamungkas.

MMI yang pada mulanya bernama Galeri Malang Bernyanyi, memiliki berbagai macam koleksi, mulai dari kaset, piringan hitam, CD, VCD, berbagai alat pemutar musik, hingga alat musik dari berbagai wilayah Indonesia. Secara keseluruhan, ada kurang lebih 40 ribu koleksi.

Museum Musik Indonesia, selain memiliki koleksi berbagai media rekaman fisik serta alat musik, juga mempunyai koleksi unggulan, salah satunya adalah busana panggung grup Dara Puspita yang mewarnai sejarah musik dalam negeri pada 1964-1972.

Busana panggung grup Dara Puspita yang dikenakan pemain gitarnya Titiek A Rachman, berwarna merah putih, seperti layaknya bendera Indonesia. Busana panggung tersebut, dijahit sendiri oleh Titiek AR pada 1970 di Belanda.

Grup Dara Puspita pada mulanya bernama Irama Puspita dengan personel Les A Rachman, Titiek AR, Susy Nander dan Anny Kusuma. Grup itu pindah ke Jakarta dan Anny Kusuma digantikan Titik Hamzah, serta mengganti nama grup menjadi Dara Puspita.

Dara Puspita merupakan grup band yang memopulerkan lagu berjudul "Surabaja" untuk mengenang pertempuran November 1945. Grup tersebut, sempat melakukan tur di sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, Belgia, Prancis, dan Spanyol pada 1970-1972.

Kepala Museum Musik Indonesia (MMI) Ratna Sakti Wulandari (kanan) memberikan penjelasan kepada salah satu mahasiswa tentang koleksi busana panggung grup Dara Puspita di Museum Musik Indonesia, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (7/3/2024). ANTARA/Vicki Febrianto.

Tugas Besar MMI​​​​​​​

Merawat bagian sejarah industri musik Indonesia, MMI memiliki tugas besar untuk bisa menarik minat anak-anak muda guna menjaga warisan musik dalam negeri. Keberadaan museum itu, memiliki nilai yang penting untuk penguatan edukasi, khususnya bagi generasi muda.

Kepala MMI Ratna Sakti Wulandari, dalam wawancara dengan ANTARA mengatakan, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi museum yang memiliki mayoritas koleksi dari sumbangan masyarakat tersebut adalah menarik minat anak muda Indonesia untuk datang ke museum.

Menurut Ratna, anak-anak muda yang sudah berkunjung ke Museum Musik Indonesia kebanyakan akan merasa tertarik dengan berbagai sejarah perjalanan industri musik Indonesia, termasuk keberagaman warisan musik yang ada di dalam negeri.

Dalam upaya untuk menarik minat anak-anak muda untuk berkunjung ke Museum Musik Indonesia, pengelola menyiapkan berbagai program, yang diharapkan bisa meningkatkan minat kunjungan ke museum.

Sejumlah program yang disiapkan itu, di antaranya menggandeng berbagai universitas dan perguruan tinggi di dalam negeri untuk mengenalkan warisan musik Indonesia, serta melaksanakan perlombaan menyanyi yang dibalut program Nusantara Bernyanyi.

Dengan berbagai upaya yang digaungkan Museum Musik Indonesia untuk merawat dan melestarikan sejarah dunia musik Indonesia, dalam jangka panjang diharapkan mampu menjaga identitas dan budaya asli Indonesia.

"Musik itu bahasa universal, jangan malu dengan musik tradisi Indonesia. Indonesia itu kaya. Kembangkan, kolaborasikan dengan musik modern. Identitas Indonesia jangan sampai hilang," kata Ratna.

Pekerjaan rumah besar tersebut tentunya bukan hanya tugas Museum Musik Indonesia semata, melainkan juga seluruh pemangku kepentingan yang ada. Menjaga identitas musik Indonesia, diharapkan lahir generasi muda yang menghargai warisan budaya dan mampu menghasilkan karya musik terbaik untuk Indonesia.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024