"Tanpa ada kasus-kasus geopolitik, seperti kasus nuklir Iran dan belakangan Israel menyerang Libanon misalnya, harga minyak akan terus naik karena permintaan yang naik," kata Kurtubi.Jakarta (ANTARA News) - Harga minyak dunia yang kini terus bergerak di level 75-76 dolar AS per barel diprediksi akan berada pada level 80 dolar AS per barel hingga akhir tahun nanti, dengan catatan tidak ada faktor geopolitik yang memperburuk kondisi tersebut. Pengamat perminyakan, Kurtubi, di Jakarta, Jumat, mengatakan saat ini permintaan minyak dunia sudah mencapai 85 juta kl perhari atau naik 1 juta kl per hari dari triwulan yang lalu, 84 juta kl perhari, akibat kenaikan permintaan minyak China dan India. Menurut dia, menjelang triwulan keempat pemintaan diperkirakan akan mencapai 86 juta kl perhari akibat tibanya musim dingin. Dari sisi pasokan minyak, sambungnya, semua negara produsen, baik OPEC maupun non-OPEC, sudah berproduksi pada kapasitas maksimal dan kapasitas lebih yang dimiliki dunia hanya berjumlah 1 juta barel per hari yang hanya berada di wilayah Arab Saudi. "Tanpa ada kasus-kasus geopolitik, seperti kasus nuklir Iran dan belakangan Israel menyerang Libanon misalnya, harga minyak akan terus naik karena permintaan yang naik," katanya. Dijelaskannya bahwa permintaan tinggi dan pasokan yang ketat dicerminkan oleh kapasitas lebih minyak dunia yang saat ini cuma 1 juta barel per hari, padahal biasanya untuk aman harus 5 juta barel per hari. "Tapi kalau kasus Iran tidak terjadi, harga pada akhir tahun bisa mencapai 75 atau maksimal 80 dolar AS per barel," katanya. Dia mengatakan seandainya kasus Iran terus berlanjut, produksi minyak Iran akan berkurang. Pengiriman minyak dari Kuwait, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang menggunakan kapal-kapal tanker melalui Selat Hormus di perairan Iran, jelasnya, akan dapat mengalami gangguan seandainya Iran merasa diganggu oleh AS. "Kalau itu terjadi, angka 100 dolar per barel pada akhir tahun nanti bukan suatu ketidakmungkinan," sambungnya. Meskipun demikian, katanya, Indonesia tidak perlu merasa terpukul karena sebetulnya Indonesia mengalami keuntungan dari kenaikan ekspor gas ke Jepang dan Korea yang terdorong oleh mahalnya harga minyak. "Produksi minyak kita hanya 1 juta barel per hari, tapi produksi gas bisa 1,5 juta barel setara minyak per hari. Sehingga penerimaan migas pemerintah masih jauh lebih tinggi dibanding subsidi yang harus disediakan pemerintah," katanya. Dia bahkan memperkirakan setiap kenaikan harga minyak dunia 1 dolar, maka Indonesia bisa menambah pendapatan dari sektor migas sekitar 350 juta dolar AS. Bahkan jika harga menembus level 100 dolar AS per barel, Indonesia tidak perlu khawatir karena masih akan menikmati keuntungan dari kenaikan pemasukan dari ekspor gas.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006