Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi non-aktif Akil Mochtar menunjuk Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan, sebagai pengacaranya.
Otto bergabung bersama pengacara Tamsil Sjoekoer untuk membela Akil yang tersangkut dua kasus dugaan suap penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten.
"Saya mau bertemu Pak Akil dulu di rutan. Jadi saya diajak untuk menjadi tim pengacara Pak Akil," kata Otto saat akan menjenguk Akil di rumah tahanan KPK, Kamis.
Otto mengatakan ia diajak bergabung sebagai tim pengacara Akil karena pernah dalam satu organisasi di Ikatan Advokat Indonesia (Ikadi).
"Jadi ceritanya, Akil dulu menjabat sebagai sekretaris Ikadin dan saya ketua umumnya, kalau Pak Tamsil ini Ketua Ikadin Pontianak," jelas Otto.
"Kami diminta bantuan maka wajib memberi bantuan hukum kepada dia. Pak Tamsil sendiri sudah banyak mendengar dari Pak Akil, kalau saya sekian lama setelah dulu sama-sama anggota DPR baru akan ketemu ini," ujar Otto.
Otto mengaku belum bisa memberi komentar saat ditanya perihal adanya indikasi tindakan pencucian uang yang dilakukan Akil Mochtar dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan besaran aliran mencapai sekitar Rp90 miliar.
"Saya ketemu Pak Akil dulu, kan ada beberapa peristiwa seperti dituduh suap, pencucian uang, dan narkotika. Sekarang ini saya baru mau bergantung, tergantung sejauh mana yang akan diungkap Akil," kata Otto.
KPK telah menyita sejumlah aset milik Akil Mochtar berupa uang senilai Rp2,7 miliar dari rumah dinas Akil di Jalan Widya Chandra III No 7, Jakarta Selatan beserta tiga mobil mewah milik Akil antara lain Mercy S 350, Audi Q5, dan Toyota Crown Athlete dari rumah Akil di kawasan Liga Mas, Pancoran, Jakarta Selatan.
Akil Mochtar diciduk KPK setelah tertangkap tangan penyidik KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), Rabu (2/10) malam, di kediamannya di kompleks Widya Chandra III No 7 bersama dengan anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa dan pengusaha Cornelis Nhalau.
Akil ditetapkan sebagai tersangka selaku penerima diduga melanggar pasal 12 huruf c jo pasal 55 ayat 1 ke-1 atau pasal 6 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Ia ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dalam dua kasus dugaan suap pemyelesaian sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten.
KPK menetapkan enam tersangka untuk dua kasus tersebut. Pada kasus sengketa Pilkada Gunung Mas, KPK menetapkan AM (Akil Mochtar) dan CN (Chairun Nisa) sebagai tersangka penerima suap.
Sementara itu, Bupati Gunung Mas HB (Hambit Bintih) dan seorang pengusaha CHN (Cornelis Nhalau) diduga sebagai pemberi suap. Disita uang senilai 284.050 dolar Singapura dan 22.000 dolar AS yang dimasukkan dalam beberapa amplop cokelat. Total uang jika dihitung dalam rupiah senilai Rp3 miliar.
Dalam kasus sengketa Pilkada Lebak, AM (Akil Mochtar) dan seorang pengacara STA (Susi Tur Andayani) ditetapkan sebagai penerima suap.
Sedangkan TCW (Tubagus Cherry Wardana) yang merupakan merupakan adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah dan suami dari Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, ditetapkan sebagi tersangka pemberi suap.
Sebagai barang bukti, penyidik KPK menyita uang senilai Rp1 miliar bentuk lembaran 100 ribu dan 50 ribu dimasukkan ke dalam tas travel berwarna biru.
Akil baru menjadi ketua MK pada April 2013 menggantikan Mahfud MD. Akil sendiri sudah menjadi hakim konstitusi sejak 2009.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 3 Januari 2011, nilai harta kekayaan Akil berjumlah Rp5,1 miliar yang terdiri dari harta tidak bergerak sekitar Rp2 miliar berupa sejumlah tanah dan bangunan di Pontianak, Kalimantan Barat.
Selanjutnya harta bergerak yang terdiri dari alat transportasi sekitar Rp402 juta, usaha peternakan sapi dengan nilai Rp30 juta, harta bergerak lainnya berupa emas, batu mulia, dan barang antik lainnya sekitar Rp451 juta serta giro dan setara kas senilai Rp2,2 miliar.
Pewarta: Monalisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013