Bersama ini kami sampaikan bahwa sebenarnya tidak terjadi 'mark up' biaya subsidi karena hal tersebut merupakan tindakan yang tidak terpuji,"
Jakarta (ANTARA News) - PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) membantah tuduhan telah terjadi "mark up" (penggembungan) biaya subsidi pupuk.
"Bersama ini kami sampaikan bahwa sebenarnya tidak terjadi 'mark up' biaya subsidi karena hal tersebut merupakan tindakan yang tidak terpuji," kata Sekretaris Perusahaan PIHC Harry Poernomo melalui keterangan pers yang diterima ANTARA News, di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan perhitungan jumlah volume pupuk yang ditagihkan ke pemerintah bisa terjadi perbedaan dan kemudian dikoreksi, karena realisasi pupuk bersubsidi lebih tinggi dari kuota APBN. Harry menjelaskan selama ini penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan secara tertutup sesuai Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang disampaikan kelompok-kelompok tani di daerah yang direkapitulasi oleh Dinas Pertanian.
Dinas Pertanian pemerintah daerah kemudian menyampaikan ke ditjen teknis di Kementerian Pertanian untuk dievaluasi dan diproses sebagai penyiapan anggaran subsidi. Namun dalam proses penyalurannya, seringkali RDKK tersebut tidak sesuai atau melebihi batas kuota, namun tetap harus dipenuhi.
Sementara itu, lanjut Harry, komponen biaya subsidi ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian, yang sebelum tahun 2012 tidak diatur secara rinci sehingga tergantung kepada persepsi auditor.
"Adanya perbedaan persepsi komponen biaya dan prosentase penetapan antara biaya subsidi dan nonsubsidi yang belum standar menyebabkan terjadinya perbedaan," kata Harry.
Namun, segera dikoreksi apakah terjadi kelebihan atau kekurangan, biaya subsidi pupuk tersebut. Pembayaran subsidi sementara sendiri, lanjut dia, berdasarkan harga pokok penagihan tahun lalu, yang diberikan sebesar 70 persen untuk penagihan-penagihan tahun berjalan. Pembayaran secara penuh diberikan setelah dilakukan audit oleh BPK RI.
"Mekanisme pembayaran subsidi secara keseluruhan telah diatur oleh pemerintah yaitu harus diaudit terlebih dahulu oleh BPK RI, untuk kemudian dilunasi, sehingga tidak terjadi 'mark up' karena memang bisa terjadi kurang bayar atau lebih bayar atas biaya subsidi tersebut," ujar Harry.
Dicontohkannya, penugasan PSO (public service obligation) BUMN pupuk sampai dengan Lini III tetapi pada kenyataannya harus melayani sampai dengan Lini IV, sehingga ada pembebanan biaya yang harus lebih dulu dibayarkan oleh BUMN pupuk.
Harry juga mengatakan sampai 31 Agustus 2013 PIHC yang menjadi induk BUMN pupuk dari PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, PT Pupuk Kujang Cikampek, dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) memiliki piutang sebesar Rp 14,046 triliun. (*)
Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013