Moskow (ANTARA) - Emisi karbon dari penggunaan energi secara global mencapai rekor tertinggi 37,4 miliar ton tahun lalu, kata Badan Energi Internasional (IEA) pada Jumat.

Namun, pertumbuhannya pada tahun itu lebih lambat daripada 2022 berkat meningkatnya penggunaan teknologi energi bersih.

"Emisi CO2 energi global meningkat 1,1 persen pada 2023, meningkat 410 juta ton (Mt) dan mencatat rekor tertinggi 37,4 miliar ton (Gt). Peningkatan ini (lebih rendah jika) dibandingkan dengan penambahan 490 Mt pada 2022 (1,3 persen)," kata IEA dalam laporan emisi tahunannya.

Batu bara menyumbang lebih dari 65 persen peningkatan emisi pada 2023, menurut laporan itu.

Diperkirakan, anjloknya penggunaan pembangkit listrik tenaga air secara global akibat kemarau menjadi salah satu faktor penyumbang kenaikan emisi CO2 tahun lalu sehingga emisi bertambah 170 juta ton.

Pada saat yang sama, meluasnya penggunaan tenaga surya, tenaga angin, tenaga nuklir, pompa uap, dan kendaraan listrik ikut mencegah peningkatan penggunaan energi berbahan fosil sehingga emisi dari energi perlahan-lahan berkurang, kata IEA.

"Antara 2019 dan 2023, total emisi dari energi meningkat sekitar 900 Mt. Tanpa penerapan lima teknologi energi bersih utama sejak 2019… pertumbuhan emisi mungkin akan naik tiga kali lipat," tulis laporan itu.

Negara-negara dengan ekonomi terbesar mencatat penurunan drastis emisi CO2 tahun lalu hingga mencapai angka terendah dalam 50 tahun, bahkan ketika produk domestik bruto (PDB) mereka meningkat.

Mereka dan China juga menyumbang 90 persen jumlah pembangkit listrik tenaga surya dan angin, dan 95 persen penjualan kendaraan listrik pada 2023 secara global, kata IEA.

Sumber: Sputnik
Baca juga: Singapura akan kenakan retribusi promosikan sustainable aviation fuel
Baca juga: Koridor energi bersih terbesar di dunia catatkan kenaikan listrik
Baca juga: Kapasitas energi bersih di Qinghai terpasang lampaui 51 juta kilowatt

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024