Jakarta (ANTARA News) - Haji adalah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali dalam seumur bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Haji juga adalah salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang paling dimimpikan oleh setiap Muslim untuk dilaksanakan.
Tentu karena baginya punya daya tarik tersendiri. Sehingga terkadang bertahun-tahun menabung untuk mewujudkan keinginan itu. Sekaligus haji adalah sebuah amalan Islam yang memiliki gengsi karena bisa menjadi indikasi strata sosial ekonomi seseorang.
Kewajiban haji didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur`an, hadits Nabi, dan tentunya menjadi kesepakatan umat (ijma` al-ummah). Di antara ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan kewajiban haji adalah "Dan bagi Allah atas umat manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu (ayat).
Sementara hadits, antara lain: "Islam itu dibangun di atas lima pilar: .dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menunaikannya hadits).
Sayang keistimewaan amalan ibaah ritual ini dipersempit oleh umat Islam dengan pemahaman yang terbatas. Ibadah haji terkadang tidak lebih dari ritual tahunan umat untuk mengumpulkan pahala untuk masuk surga. Seolah surga Allah itu adalah sesuatu yang dibarter dengan amalan-amalan ibadah manusia.
Konsekwensi langsung dari pemahaman yang terbatas itu menjadikan haji seolah amalan rutinitas yang "kering dan kurang bermakna" dalam kehidupan nyata umat ini. Seolah seorang Muslim di saat kembali dari tanah haram, dia telah menyelesaikan `aqd` (kontrak) dengan Tuhan, sehingga syurga menjadi miliknya.
Pesan-pesan moral haji yang seharusnya menjadi kekuatan perubahan dalam hidup manusia menjadi tumpul. Akibatnya berkali-kali haji tapi kebobrokan moral juga semakin menjadi-jadi.
Haji adalah ibadah seumur hidup. Ibadah yang hanya wajib sekali dalam seumur manusia. Hal ini karena haji merupakan refleksi lengkap dari kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, haji merupkan miniatur (gambaran kecil) kehidupan manusia, sejak lahir hingga kembali ke pangkuan Ilahi, sang Pencipta.
Oleh karenanya haji menjadi sarat dengan pesan-pesan moral yang bersifat universal, antara lain pertama sebagai Pesan fitrah.
Bahwa manusia semuanya tanpa kecuali terlahir dalam keadaan fitri (suci, natural dan tidak berdosa). Kesucian manusia itu bersifat abadi dan tidak pernah hilang (laa tabdiila li khaliqillah).
Yang terjadi kemudian adalah manusia rentang menjadi lupa dan tidak sadar sehingga terbawa arus godaan duniawi. Di sinilah manusia dikenal dengan nama itu (insan), salah satunya berarti pelupa. Walaupun kata manusia juga bisa berasal dari kata `anasa-ya nasu-unsun' yang berarti jinak/tidak buas.
Kenyataan di atas menjadikan haji sebagai salah satu pilar Islam menjadi sangat urgen dan signifikan. Karena haji dimulai dengan simbolisasi kesucian atau ihram (dari kata ahrama-yahramu-ihram atau haram). Kata `haram' berarti kesucian (batas-batas aturan) yang tidak boleh dilanggar. Melanggar aturan disebut haram karena melanggar batas-batas aturan suci Ilahi.
Pilar pertama haji yang disebut Ihram merupakan risalah atau pesan, sekaligus pengakuan akan eksistensi fitrah (kesucian) manusia yang harus dipertahankan. Fitrah adalah modal utama kehidupan manusia. Dan ketika fitrah manusia terkalahkan oleh egoisme hawa nafsunya maka disitulah kemudian rentang terjadi berbagai kerusakan (al-fasadu) dalam kehidupannya (lihat Ar-Rum).
Kedua sebagai risalah tauhid. Manusia juga tanpa kecuali terlahir untuk sebuah tujuan universal. Yaitu melakukan pengabdian total kepada sang Pencipta. Pengabdian total ini memang terekspresikan dlam berbagai bentuk pengabdian manusia. Tapi intinya bahwa apapun yang dilakukan manusia seharusnya dipahami sebagai bentuk pengabdian.
Pengabdian total inilah yang sebut dengan ibadah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah: `Tidaklah Saya menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu` (Ayat).
Kenyataannya, karena kelalaian jugalah menjadikan banyak manusia kemudian tidak sadar bahwa hidupnya, bahkan matinya sekaligus, tidak lain ditujukan hanya sebagai pengabdian kepada Tuhan yang maha Tunggal. Karena kelalaian ini, manusia kemudian menjalani hidupnya dalam berbagai bentuknya tidak lain sekedar memenuhi hasrat hawa nafsunya.
Di sinilah haji mengingatkan manusia dalam pengakuan lisan yang pertama dalam haji: `Labbaika allahumma labbaik, labbaika laa syaraiika laka labbaik`dst.
Bahwa kedatangan haji ke tanah suci tidak lain untuk melakukan komitmen baru atau sumpah baru bahwa hidupnya tidak lain adalah datang memenuhi ajakan ilahi dalam mengabdi kepadaNya. Pengabdian totalitas kepada Ilahi inilah yang diistilahkan dalam agama Islam dengan sebutan Tauhid. Yaitu sebuah konsep yang memahami bahwa Tuhan adalah pusat kehidupan, maka segala lini kehidupan manusia semuanya dan secara totalitas ditujukan sebagai pengabdian kepada Yang Maha Tunggal itu.
Ketiga sebagai risalah kehidupan. Bahwa semua manusia terlahirkan ke atas dunia ini tidak lain menjalani kehidupan ini dengan tujuan yang telah ditentukan.
Manusia sesungguhnya sedang dalam perjalanan (haji secara kata berarti perjalanan ke tujuan yang jauh) dari satu titik poin ke titik poin yang sama. Perjalan ini tergambarkan dalam filsafat hidup seorang Muslim: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya).
Haji adalah gambaran perjalanan itu. Dan semua yang tergambarkan dalam perjalanan itu terilustrasikan dalam berbagai amalan ritual haji. Ambillah misalnya, persiapan haji.
Persiapan harus bersifat totalitas; fisik, akal dan ruh. Perjalanan hidup manusia juga tidak mungkin akan dijalani secara maksimal dan utuh tanpa persiapan totalitas tersebut. Manusia hanya bisa menjadi manusia dengan ketiga aspek kehidupan yang tidak terpisahkan: Jasad, akal, dan ruh.
Tawaf membawa pesan makna kehidupan yang memang berputar. Bahwa hidup itu tidak kemana-mana. Batas kemampuan manusia juga hanya berputar di sekitar itu dan juga batas kehidupannya juga tidak jauh dari perputarannya. Dalam batas-batas yang telah ditentukan (istilah teologisnya: ditakdirkan) itulah; umur, rezeki, jodoh, mati, dll., manusia berjalan/berputar. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa apapun yang terjadi dalam perputaran itu, jangan lupa Kabah (symbol A-Haqq atau kebenaran) yang harus tetap menjadi sentra kehidupan.
Sa'i membawa pesan bahwa tidak ada yang gratis dalam hidup ini, kata orang. Diperlukan kerja keras (sa`i berarti kerja/usaha keras) seperti ikhtiyar atau usaha yang pernah dilakukan oleh Ibu Nabi Ismail, Sitti Hajar, mencari air demi kelanjutan hidupnya dan anaknya.
Namun usaha apapun yang dilakukan dalam hidup ini, perlu diyakini bahwa sumber segala sesuatu hanya Dia yang Ar-Razzaq al-Alim. Oleh karenanya, sekuat tenaga Hajar mencari air, dari tempat yang dia yakininya sebagai sumber air itu, kenyataannya Allah yang menetukan sumber tersebut.
Keempat sebagai pengenalan (Arafah). Proses pengenalan kembali (arafa-ya`rifu-arfun) adalah tuntutan mendasar dalam menghadapi hidup yang penuh dengan berbagai intrik ini. Dalam proses kehidupan manusia, ternyata dia terlupa akan hakikat dirinya dan sebagai kosekwensinya juga lupa akan Penciptanya.
Oleh karenanya proses pengenalan (arafah) diri menuju pengenalan Tuhan (man `arafa nafsahu faqad `arafa Rabbahu) merupakan risalah terpenting dari haji. Di sinilah wukuf di Arafah menjadi puncak pelaksanaan haji (al-hajju Arafah, kata Rasul).
Di wukuf Arafah inilah jamaah haji mengagumkan keesaan Ilahi dengan dzikir yang paling utama: `Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa alaa kulli syaein qadir`. Dzikir ini merupakan pengakuan keesaan Ilahi kembali setelah tertimbung dalam keangkuhan dan egoisme manusia itu sendiri.
Dzikir bukan sekedar mengucapkan mantra-mantra atau bacaan tertentu. Tapi dzikir adalah bentuk introspekasi diri atau `muhasabah` dalam bahasa agama. Hanya dengan muhasabah kita akan mampu melakukan reparasi kerusakan hati/jiwa yang berpegaruh dalam prilaku dan sikap manusiawi kita.
Kelima hadapi tantangan. Ternyata risalah atau pesan hidup juga mengajarkan bahwa dalam hidup tidak selamanya kita berjalan di atas karpet merah. Hidup penuh dengan godaan, rintangan dan duri. Oleh karenanya, kesadaran manusiawi kita mengajarkan bahwa manusia harus siap menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Manusia, selama masih menghembuskan nafas kehidupannya, tidak akan bisa lari dari tantangan tersebut.
Di sinilah haji membawa risalah urgensi persiapan dalam menghadapi tantangan, godaan maupun kesulitan hidup. Mabit di Muzdalifah adalah simbolisasi persiapan lahir batin (dengan dzikir dan mengumpulkan bebatuan) dalam menghadapi peperangan abadi itu.
Keesokan harinya di saat jamaah haji menginap (mabit) selama tiga dan tiga malam di Mina untuk melempar jumrah, merupakan simbolisasi keseriusan pertarungan ini. Bahwa pertarungan ini bersifat abadi dan nyata dalam hidup manusia itu.
Keenam akhir perjalan. Pada akhirnya di penghujung perjalanan suci (ibadah) itu manusia akan meninggalkan tanah haram (berarti tanah suci). Meninggalkan tanah haram bagi seorang Muslim tidak lebih dari meninggalkan medan perjuangan pengabdian kepada Ilahi (dunia ini).
Dan oleh karenanya, satu hal yang perlu dipastikan bahwa sebelum meninggalkan tanah haram perlu dipastikan bahwa di saat kepualangan itu dilakukan tawaf (yang disebut tawaf wada).
Tawaf wada ini adalah simbolisasi kepastian pengabdian kepada Ilahi dalam menghadap kepadaNya. Pengabdian dalam perjalanan menghadap kepadaNya inilah yang dikenal dengan `husnul khatimah` atau akhir yang baik.
Keadaan husnul khatimah digambarkan dalam sabda Rasulullah SAW: Barangsiapa yang akhir kata-katanya adalah laa ilaaha illallah, dia masuk syurga (hadits).
Ketujuh universalisme kemanusia. Akhirnya, haji juga melahirkan komitmen `universalisme ukhuwah` (persaudaraan) manusia yang iangun di atas asas kekeluargaan. Penyampaian ayat-ayat Al-Quran mengenai kewajiban haji menggambarkan dengan jelas pengakuan ikhuwah (persaudaraan) universal manusia itu.
Bahwa semua manusia itu bersaudara karena memang tercipta dari seorang bapak dan seorang ibu (Adam & Hawa).
Manusia yang berkumpul di sebuah padang luas di Arafah, dengan latar belakang yang berbeda-beda (ragam) namun hanyut dalam satu hati dan pikiran, menghamba kepada sang Pencipta juga menggambarkan pesan ini. Bahwa semua mansia berada dalam posisi yang sama, walau memiliki latar belakang yang berbeda.
Risalah ini juga pernah disampaikan oleh Rasul di saat menyampaikan khutbah di padang Arafah, yang lebih dikenal dengan `khutbatul wada` (khutbah perpisahan). Di mana beliau menegaskan: Tuhan kalian Satu, ayah (dan ibu) kalian juga satu. Semua kalian berasal dari Adam (keturunan Adam) dan Adam tercipta dari tanah.
Tiada kelebihan orang Arab di atas non Arab, dan tiada kelebihan orang putih di atas orang hitam, kecuali karena ketakwaan semata.
Komitmen kesetaraan dalam keragaman inilah yang di kemudian hari, disadari atau tidak, mengilhami para pejuang HAM dan kesetaraan (equality) di abad modern.
Semoga mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji dapat memahami secara jelas pesan-pesan atau risalah haji tersebut. Amin!
*) Imam masjid di New York
Pewarta: M. Shamsi Ali*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013