Jakarta (ANTARA News) - Ketua PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj menyatakan, langkah NU mengeluarkan fatwa haram bagi infotainment yang cenderung membuka aib seseorang semata untuk mengajak umat pada kebaikan dan meninggalkan keburukan, namun NU tak akan memaksa masyarakat untuk mengikuti fatwa tersebut.
"Ini cara kita (NU, red) beramar ma`ruf nahi munkar. Mau diikuti silakan, nggak mau ya nggak apa-apa," kata Said Aqil pada dialog publik bertajuk "Infotaintment: Kezaliman Era Baru?" di gedung Badan Perfilman Nasional, Jakarta, Kamis.
Oleh karena itu, katanya, ia menjamin fatwa yang dihasilkan dari proses Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya akhir Juli lalu itu tidak akan diikuti dengan aksi sweeping terhadap orang-orang yang tidak mengikuti fatwa tersebut.
"Jangan khawatir, saya menjamin PBNU tidak akan menurunkan Banser untuk melakukan sweeping. Kalau ada (sweeping), saya tegaskan, itu pasti bukan dari PBNU," kata Said Aqil dalam diskusi yang juga menghadirkan beberapa pembicara lain, seperti Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Dr Effendy Ghozali MA dan budayawan Prof Dr Abdul Hadi WM.
Dikatakannya, dasar para ulama NU menetapkan fatwa haram sangat jelas, bukan asal-asalan. "Membuka, mempergunjingkan keburukan orang disebut ghibah. Semua kiai tidak ada yang berbeda pendapat bahwa ghibah itu hukumnya haram `absolut`. Dasarnya jelas, bukan dari ijma atau qiyas, tapi langsung dari hadis," katanya.
Sementara itu Abdul Hadi WM mengatakan, tayangan infotainment yang kebanyakan berisi gosip dan membuka aib orang lain merupakan upaya dari pendangkalan budaya bangsa. "Itu pendangkalan budaya, demoralisasi, tidak ada nilai yang terkandung di dalamnya," tandasnya.
Sedangkan Effendy Ghozali menilai, karakter infotainment di Indonesia adalah over explosive, over simplified dan over claim. Over explosive karena tayangan infotainment sudah terlalu banyak, semua stasiun televisi di Indonesia memiliki program acara serupa. Akibatnya, infotainment justru menjadi sarana sinisme bukannya menjadi media informasi yang mencerdaskan masyarakat.
Sementara over simplified, lanjut Effendy, ditunjukkan dengan cara kerja para jurnalis infotainment yang terlalu mudah menyederhanakan dan menyimpulkan sebuah persoalan. "Ketika seorang artis ditemui sedang berjalan dengan orang lain, langsung saja disimpulkan selingkuh atau sedang ada affair. Intinya mengada-ada," katanya.
Sedangkan over claim, kata Effendy, media infotainment selalu mengklaim demi kepentingan publik. seolah-olah publik harus mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada artis. "Perceraian seorang artis dengan pasangannya diklaim bahwa hal itu sangat dibutuhkan masyarakat," katanya.
Dikatakannya, jika hingga saat ini sasaran dari pada berita infotainment masih berkisar pada kehidupan pribadi selebritis, maka tidak akan lama lagi akan berkembang pada kehidupan tokoh lain, misalnya tokoh politik.
"Kita lihat saja minggu-minggu ini sejumlah infotainment sedang memberitakan kehidupan pribadi salah seorang tokoh politik dari PAN (Partai Amanat Nasional). Ini artinya, nanti gosip infotainment itu tidak lagi didominasi selebritis," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006