Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengingatkan bahaya anak yang terlahir stunting berpotensi tumbuh menjadi anak yang tidak cerdas dan sering sakit-sakitan.

"Ciri khas stunting adalah bertubuh pendek, tetapi, pendek belum tentu stunting, dan ciri yang lebih khas lagi itu anak stunting tidak cerdas, dan orang yang masa kecilnya stunting jadi sering sakit-sakitan," kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Hasto menyampaikan hal tersebut pada rapat koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh tahun 2024 di Banda Aceh, Provinsi Aceh, pada Rabu (28/2).

Ia menjelaskan, ketika dewasa anak yang stunting akan lebih mudah terkena kegemukan atau obesitas.

"Ketika dewasa, anak stunting akan mengalami central obesity yang menyebabkan mudah terkena penyakit seperti darah tinggi, jantung, dan stroke," ucapnya.

Ia juga menyebutkan, salah satu penyebab terjadi stunting yakni akibat jarak kelahiran anak yang terlalu dekat, sehingga mengakibatkan pola asuh yang diberikan kepada anak tidak maksimal, sehingga pemberian ASI juga kurang, padahal anak perlu diberikan ASI eksklusif minimal selama 24 bulan atau dua tahun.

"Beberapa alasan mengapa bayi tidak menyusui, sebesar 65,7 persen karena ASI tidak keluar, 8,4 persen terjadi rawat pisah antara ibu dan bayi, 6,6 persen anak tidak bisa menyusui, dan 2,2 persen karena si ibu repot," ujar dia.

Ia juga mengingatkan pentingnya pemberian ASI kepada bayi secara langsung dibandingkan memberikan susu botol atau formula.

"Banyak sekali orang tersesat pakai susu botol atau susu formula, akhirnya anaknya banyak yang mengalami diare, bukan karena susunya, tetapi karena botolnya tidak steril, dan bekas susu yang tersisa di dalam botol menjadi sarang bakteri, kalau botol tidak betul- betul disteril," paparnya.

Selain itu, Hasto menegaskan, usia perkawinan juga mempengaruhi terjadinya stunting terhadap bayi yang dilahirkan. Sebab, pernikahan di usia anak juga menentukan kesehatan ibu saat hamil.

"Perempuan yang melahirkan pada usia anak berisiko mengalami kondisi kurang darah dan melahirkan anak stunting. Faktor lain yang menyebabkan lahir anak stunting yaitu melahirkan di atas usia 35 tahun," paparnya.

Baca juga: Kepala BKKBN tekankan pentingnya asupan berkualitas di 1.000 HPK

Sementara itu, Penjabat (Pj) Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Aceh, Ayu Marzuki, meminta tim percepatan penurunan stunting (TPPS) agar memperkuat sosialisasi tentang stunting hingga ke tingkat desa, karena menurutnya, masih banyak keuchik atau kepala desa yang belum mengetahui apa itu stunting.

"Saya berterima kasih sekali dengan Kepala Perwakilan BKKBN Aceh, Ibu Vina, yang cepat respons, dan Desember 2023 lalu mengumpulkan 710 keuchik dari desa lokus stunting mengikuti sosialisasi stunting. Semoga dengan mendapatkan pemahaman tersebut, intervensi yang dilakukan tepat sasaran," kata Ayu.

Ayu juga mengungkapkan, selama ini peran suami saat kelahiran terkait pemberian ASI masih sangat minim.

"Ada kasus yang kami temukan, di mana seorang suami karena ASI istrinya encer, mendorong agar memberikan bayi susu formula, dan istri menerima saran tersebut. Inilah kondisi yang terjadi. Untuk itu, saya sangat berharap para suami ikut serta berperan mendorong istri memberikan ASI kepada bayi hingga berusia dua tahun," paparnya.

Ayu juga menyebutkan bahwa pihaknya masih menemukan banyak kader posyandu salah ukur tinggi badan balita karena menggunakan ukuran kain, sehingga data stunting tidak valid.

"Saya sangat memohon agar kader yang sudah dilatih tidak diganti. Untuk itu, perlu diatur dengan regulasi supaya kader di tingkat paling bawah bisa didampingi sehingga bekerja sesuai SOP yang ada," katanya.

Baca juga: Anggota DPR nilai target penurunan stunting pada 2024 realistis

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024