Jakarta (ANTARA News) - Konstitusi telah menjamin pemenuhan hak-hak kewarganegaraan dan kependudukan namun berbagai peraturan daerah masih membebani masyarakat dalam mengurus hak-hak tersebut.

Hal tersebut dikemukakan Ketua Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) KH Slamet Effendy Yusuf MSi di Jakarta, Jumat.

"Misalnya, mengurus akta kelahiran yang masih dipungut berbagai biaya, dan persyaratannya yang seharusnya cuma 4 macam bisa menjadi 10 macam,” kata Slamet Effendy.

Dia mengemukakan sekitar 40 persen penduduk Indonesia yang memiliki akta kelahiran. Di sisi lain, seluruh instansi pemerintah dalam merekrut pegawai selalu mewajibkan bukti kepemilikan akta kelahiran.

Seiring putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus wewenang pengadilan dalam penetapan akta kelahiran yang melampaui batas satu tahun, IKI mengimbau setiap Pemda untuk segera membentuk Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Kependudukan dan catatan sipil hingga tingkat Kecamatan.

Berdasarkan putusan MK tersebut, mulai 1 Mei 2013 pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 tahun, pencatatannya tidak perlu lagi melalui penetapan pengadilan negeri karena bisa diproses Dinas Dukcapil kabupaten/kota.

"Menteri dalam negeri harus segera menerbitkan instruksi kepada jajarannya agar menbentuk unit pelaksana teknis dinas di setiap kecamatan untuk menjamin pelayanan khususnya pembuatan akta kelahiran menjangkau setiap masyarakat dan tidak dipungut biaya," kata Slamet Effendy.

IKI pada Kamis (3/10) mengadakan diskusi terbatas mengenai hak kewarganegaraan dan dihadiri perwakilan dari Kemkumham, Kemdagri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perlindungan Anak, serta ormas atau LSM seperti plan internasional, GTZ, Komisi Perlindungan Anak, Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, Perhimpunan Marga-marga Tionghoa di Jakarta, Majelis Adat Budaya Tionghoa, KPC Melati, dan lain-lain.

Dalam diskusi tersebut, Atik SH MH, pembicara dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, mengungkapkan pemerintah ingin memberi pelayanan kepada masyarakat dan tidak menolerir pemalsuan dokumen dalam pengurusan dokumen kependudukan dan catatan sipil.

"Kalau ada pemalsuan ini berbahaya dan sesuai pasal 93 UU Adminduk yang bersangkutan dapat dikenakan pidana 6 tahun maupun denda Rp.50 juta,” kata Atik.

Dalam diskusi tersebut pihak pemerintah menjelaskan bahwa sejak terbitnya UU Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 maka peraturan perundangan sebelumnya yang mengatur mengenai kewarganegaraan tidak berlaku, oleh karena itu penyelesaian masalah kewarganegaraan harus mengacu pada UU No 12/2006.

Pihak pemerintah dalam diskusi itu juga mengingatkan bahwa UU tersebut pada prinsipnya menyatakan bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia dan tidak mempunyai kewarganegaraan lain adalah Warga Negara Indonesia. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) tidak diperlukan lagi karena sekarang bukti kewarganegaraan sudah terdapat dalam Akta Kelahiran.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013