Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Thailand. Setiap penegak hukum harus nonaktif dari partai selama tiga tahun sebelumnya, karena menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) harus orang yang netral dan terlepas dari berbagai kepentingan,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Proses pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi perlu dikaji ulang sehingga ke depan dapat dilakukan lebih teliti dan bukan berdasarkan kepentingan kelompok, kata pakar hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Iwan Satriawan.
"Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Thailand. Setiap penegak hukum harus nonaktif dari partai selama tiga tahun sebelumnya, karena menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) harus orang yang netral dan terlepas dari berbagai kepentingan," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Menanggapi penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ia mengatakan, tata cara pemilihan hakim MK di Indonesia saat ini membolehkan calon hakim MK dari partai politik.
"Partai politik pasti mempunyai banyak kepentingan dalam birokrasi dan lainnya. Selain itu, syarat untuk menjadi anggota MK hanya mengisi pernyataan tidak aktif di partai," katanya.
Menurut dia, jika perlu di Indonesia ada jarak tiga sampai lima tahun terlepas dari partai sebelum mencalonkan diri menjadi anggota MK.
Setelah menjadi hakim MK sebaiknya tidak perlu ikut mencalonkan diri sebagai eksekutif lagi, tetapi cukup menjadi pendidik di kampus.
"Jika ikut ke eksekutif lagi dikhawatirkan kekuatan atau pengaruhnya dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye atau lainnya," katanya.
Ia mengatakan, tertangkapnya Akil Mochtar seharusnya menjadi beban moral bagi anggota DPR RI, terlebih bagi Partai Golkar, karena pemilihan hakim MK dibagi atas tiga orang dipilih DPR, tiga orang dipilih presiden, dan tiga dari partai.
"Akil Mochtar dipilih oleh DPR RI. Oleh karena itu, DPR RI ke depan harus lebih berhati-hati memilih dan mengusulkan anggota MK," katanya.
Menurut dia, masyarakat memandang bahwa DPR RI mengusulkan nama hakim anggota MK seperti memilih daging sapi, asal- asalan.
"Padahal, hakim MK itu masalah keadilan, masalah serius bagi negara kita," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.
Ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK pada Rabu (2/10) malam, karena diduga menerima uang terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.(*)
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013