Jakarta (ANTARA) - Praktisi kesehatan masyarakat dr. Reisa Broto Asmoro mengatakan perundungan atau bullying adalah mata rantai yang perlu diputus segera, karena ada dampak bagi semua yang terlibat.

"Memang dampak bullying itu nggak cuma menyasar si korbannya saja, tapi si pembullynya atau orang di sekitarnya yang menyaksikan tindakan bullying itu juga semuanya kena dampak," kata ujar Reisa dalam Siaran Sehat dengan topik "Jaga Anak Kita dari Bullying" yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan apabila perundungan tersebut melibatkan main fisik, maka kesehatan fisik korban pasti terganggu, seperti adanya luka dari benturan, bahkan dapat ada luka yang mengancam nyawa.

"Bahkan, kalau verbal saja, ini bisa mengganggu secara mental. Jadi, bukan hanya fisiknya, yang kedua dampak bullying berisiko menyebabkan gangguan mental," kata dia.

Gangguan-gangguan mental tersebut, contohnya kecemasan, ketakutan, bahkan mudah marah. Selain itu, ada penurunan kemampuan analisis, fokus, produktivitas, yang menyebabkan pencapaian akademik yang buruk.

Dia menjelaskan pada kasus perundungan yang berat, korban dapat mengalami depresi yang dapat mendorong tindakan-tindakan yang berbahaya, seperti mencelakai diri sendiri. Selain itu, gangguan dalam hubungan sosial si korban, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup si korban.

Sementara itu, kata Reisa, perundungan juga memberikan efek buruk bagi pelakunya. "Anak itu bisa jadi lebih berperilaku agresif dan impulsif. Biasanya pelaku bullying itu punya rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi, jadi dia tidak takut untuk melakukan berbagai kekerasan," ujarnya.

Karena sifat-sifat ingin mendominasi itu, ujar Reisa, mereka selalu ingin menguasai, dan perundungan membuat mereka merasa memiliki kekuasaan lebih.

Menurutnya, perundungan membuat pelakunya memiliki watak yang lebih keras, dan pada akhirnya mereka tidak dapat berempati pada orang lain. Mereka menjadi mudah marah, bersikap kasar, dan ada risiko mereka menjadi kriminal. "Tentunya berisiko tersangkut masalah hukum," ujarnya.

Bagi para saksi, katanya, mereka dapat menjadi trauma dan tertekan, karena di satu sisi mereka stres dan ketakutan, di satu sisi mereka merasa bersalah karena mau membantu korban tapi tidak bisa. "Akhirnya apa? Mereka bisa saja mengalami gangguan kecemasan. Terus apa? Punya kepribadian untuk menjadi menghindar dari masalah," katanya.

Hal itu, ujarnya, akan mempengaruhi saksi perundungan di masa depannya, terutama dalam pengambilan keputusan.

Reisa menilai tidak ada seorang pun yang pantas dirundung, dan tidak boleh ada seorang pun yang diam saja ketika melihat perundungan terjadi. Korban perlu didukung, karena dukungan tersebut menunjukkan kepedulian dan keberanian. "Jadi, bersatulah untuk mengakhiri bullying ini, karena itu salah, apapun alasannya," kata dia.

Perundungan, kata dia, adalah masalah kompleks yang membutuhkan penyelesaian dari seluruh pihak, misalnya keluarga, sekolah, teman bermain, dan masyarakat. Apabila perundungan sudah terlanjur terjadi, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan.

Korban perundungan perlu diyakinkan bahwa perundungan itu bukan salahnya agar kepercayaan dirinya tumbuh kembali. "Kemudian, kita harus bantu agar korban ini bisa mampu membela dirinya sendiri dan anak yang melaporkan kejadian itu perlu dihargai," ujarnya.

Selain itu, ujarnya, bagi pelaku, hukuman atau kritik yang diberikan sebisa mungkin tidak di tempat umum. Yang terpenting, adalah si pelaku didorong untuk jujur, dan diapresiasi ketika sudah mau jujur, agar perilaku negatifnya tidak semakin parah.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024