Di kota-kota kecil, bioskop dengan harga (tiket) murah adalah masa depan industri kita,
Jakarta (ANTARA) - Industri film Indonesia menunjukkan geliat yang menggembirakan setelah dihantam badai pandemi COVID-19. Tahun 2023 menjadi pertanda kebangkitan industri film Indonesia dengan perolehan 55 juta penonton bioskop.
Optimisme pun muncul, yang menandakan potensi besar menanti di depan mata.
Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Dessy Ruhati, menyebut industri film Indonesia merupakan subsektor ekonomi kreatif yang pertumbuhannya sangat positif setelah pandemi COVID-19, dan menjadi salah satu penunjang pendapatan bagi sektor pariwisata di Tanah Air.
Tak hanya itu, bahkan tercatat ada 20 film Indonesia mendapatkan lebih dari 1 juta penonton pada tahun lalu, seperti "Sewu Dino" (4,8 juta penonton), "Di Ambang Kematian" (3,3 juta), "KKN di Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni" (2,9 juta), "Pengabdi Setan 2: Communion" (2,6 juta), dan "Ngeri-Ngeri Sedap" (2,6 juta pemirsa).
Raihan ini diharapkan dapat menarik investor untuk meningkatkan nilai subsektor ekonomi kreatif Indonesia.
“Daya tarik subsektor ini sangat kuat. Kami berharap tenaga kerja pada animasi, film, video terus bertumbuh,” kata Dessy.
Menurut data Badan Perfilman Indonesia (BPI), industri film Indonesia menyedot 51,2 juta penonton pada 2019, tetapi kemudian anjlok menjadi hanya sekitar 19 juta penonton pada 2020 akibat pandemi COVID-19.
Jumlah penonton makin merosot pada 2021 dengan hanya 4,5 juta penonton, dan baru kembali menggeliat pada 2022 dengan 24 juta penonton.
Persebaran bioskop
Pengamat sekaligus peneliti film Hikmat Darmawan memprediksi industri film Indonesia mampu menarik hingga 60 juta penonton pada 2024. Industri perfilman Indonesia sudah berangsur-angsur pulih setelah dilanda pandemi COVID-19. Jumlah penonton film di bioskop pun sudah kembali ke pola semula.
Namun, masih ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Salah satu yang paling krusial adalah pemerataan persebaran bioskop di seluruh negeri.
Saat ini, 60 persen bioskop terkonsentrasi di Jabodetabek, sebuah ketimpangan yang mencolok mengingat luas dan banyaknya kota dan kabupaten di Indonesia.
Kondisi ini membuat jumlah layar bioskop menjadi terbatas dan film-film Indonesia yang diproduksi mendapatkan jatah tayang yang minim.
"Karena jumlah layar sedikit, jumlah film yang diproduksi tidak dapat tempat karena terlalu banyak (film), dan daya tampung (bioskop) tidak cukup," kata Hikmat kepada ANTARA.
Hikmat, yang juga pernah menjadi Wakil Ketua 1 Dewan Kesenian Jakarta periode 2021-2023 itu, menuturkan potensi penonton film bioskop Indonesia sebenarnya bisa menembus 80 juta penonton apabila masalah pemerataan bioskop bisa terselesaikan.
Proporsi penonton film di Tanah Air saat ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia.
Kondisi tersebut menyebabkan film-film Indonesia -- meskipun populer -- hanya mampu meraih paling banyak 10 juta penonton. Film "KKN di Desa Penari", dengan rekor 10 juta penonton, menjadi contoh nyata keterbatasan ini.
"Indonesia kan penduduknya 260 juta, tetapi kenapa film terbanyak yang ditonton itu cuma oleh 10 juta penonton Indonesia? Kenapa? Karena bioskop belum tersebar. 60 persen masih di Jabodetabek. Itu pun masih bisa digarap lebih banyak lagi," ujar dia.
Dengan populasi sekitar 280 juta penduduk, jumlah bioskop dan penonton saat ini masih terlalu sedikit. Artinya, kue bisnis layar lebar ini masih bisa diperbesar.
Jumlah layar bioskop di Indonesia saat ini mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan era 80-an, yang bisa mencapai 6.600 layar.
"Sekarang kan menuju 2.500 layar saja ngos-ngosan. Dulu 6.600 layar berarti di atas kertas seluruh kabupaten kita ada bioskopnya. Artinya ada lapis bioskop juga, bioskop kelas A, B, C. Sekarang kan seolah-olah bioskop itu harus kelas A semua, harus mewah," kata dia menjelaskan.
Menurut Badan Perfilman Indonesia, saat ini terdapat 517 lokasi bioskop dengan jumlah layar sebanyak 2.145 layar yang tersebar di sekitar 115 kota/kabupaten di seluruh wilayah Indonesia.
Hikmat lebih lanjut mengatakan kunci lainnya untuk kemajuan industri film Indonesia adalah kehadiran bioskop kelas menengah ke bawah yang murah.
Bioskop jenis ini justru memiliki potensi besar untuk menjangkau masyarakat di kota-kota kecil dan memiliki potensi besar untuk mendorong kemajuan industri film di negeri ini.
"Di kota-kota kecil, bioskop dengan harga (tiket) murah adalah masa depan industri kita," ujar Hikmat.
Oleh karena itu penting membangun pasar film yang lebih beragam. Pasar ini tidak hanya menayangkan film-film populer atau film yang sukses secara komersial (blockbuster), tetapi juga memberikan kesempatan dan jatah tayang yang lebih banyak kepada film-film lokal untuk ditayangkan di bioskop.
Pemerataan bioskop, termasuk salah satunya membangun bioskop di daerah-daerah -- terutama bioskop kelas menengah ke bawah yang murah -- adalah solusi jitu. Ini akan membuka akses bagi masyarakat di berbagai wilayah untuk menikmati film di bioskop, sekaligus mendorong pertumbuhan industri film nasional.
Pemerintah, pengusaha, penonton, dan rumah produksi (PH) harus bahu-membahu untuk mencapai target 80 juta penonton.
Pemerintah dapat berperan dalam merumuskan kebijakan yang mendukung pemerataan bioskop dan insentif bagi pengusaha bioskop di daerah, mendukung pengembangan film-film berkualitas dan edukatif, dan mempromosikan film Indonesia di luar negeri.
Pengusaha bioskop juga perlu berani berinvestasi di daerah-daerah potensial. Penonton bakal antusias menyambut film-film bermutu produksi Indonesia dengan menonton di bioskop.
Sementara itu, rumah produksi (PH) sebagai penentu kualitas film, harus terus berinovasi dan menghasilkan karya-karya berkualitas yang mampu menarik minat penonton. Diversifikasi genre dan tema film juga penting untuk membangun pasar film yang beragam dan inklusif.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa masa depan industri film Indonesia bukan hanya tentang jumlah penonton, melainkan juga tentang kualitas film dan dampaknya terhadap masyarakat.
Industri film yang maju dapat memberikan kontribusi positif bagi ekonomi kreatif, budaya, dan pariwisata Indonesia.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024