Jakarta (ANTARA) - Pada Desember 1998 dunia olahraga dikagetkan oleh skandal korupsi dalam tubuh Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Para pejabat IOC dituding menerima suap, mulai dari pemberian uang tunai, hadiah, biaya perjalanan dan kesehatan, sampai beasiswa untuk anak-anak para pejabat IOC itu.
Tujuan semua suap itu adalah agar Salt Lake City di Utah, Amerika Serikat, terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2002.
Pengungkapan laku tak pantas ini mendorong IOC memecat enam anggota komite eksekutif, sedangkan beberapa lainnya mengundurkan diri.
Setahun kemudian, pada Desember 1999, IOC meluncurkan reformasi berisi 50 poin, termasuk dalam proses pemilihan anggota komite IOC, proses bidding tuan rumah Olimpiade, transparansi transaksi keuangan, aturan anti-doping, dan pembentukan Komisi Etik IOC.
"Olimpiade Musim Dingin Salt Lake pada 2002 menjadi kali pertama bukti korupsi tersaji jelas di hadapan publik," kata Andy Spalding, akademisi yang meneliti korupsi di berbagai event akbar olahraga, mulai Olimpiade sampai Piala Dunia FIFA.
"Sebelum Olimpiade 2002, kita tahu memang ada korupsi, tapi kita tak bisa membuktikannya," sambung Spalding seperti dikutip AFP pada 21 Februari 2024.
Bahkan setelah rangkaian rangkaian reformasi itu pun, praktik korupsi tetap terjadi, yang tak hanya terjadi dalam Olimpiade, tapi juga dalam ajang-ajang besar seperti Piala Dunia FIFA.
Baca juga: Mantan Sekjen FIFA diputus bersalah palsukan dokumen dan terima suap
Tudingan korupsi dalam Olimpiade biasanya berpusat pada kontrak pembangunan venue pertandingan, sponsor, dan pelayanan untuk tim atau atlet.
Meskipun demikian tudingan korupsi tetap nyaring dalam setiap Olimpiade, termasuk dugaan jual beli suara dalam penentuan Rio de Janeiro dan Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade 2016 dan 2020.
Olimpiade Musim Dingin 2014 di Sochi, Rusia, bahkan dianggap sebagai ajang korupsi gila-gilaan di mana miliaran dolar AS diduga digelapkan selama ajang itu.
Korupsi dalam Olimpiade dianggap sudah sedemikian sistemik, yang juga diduga terjadi pada Olimpiade Tokyo 2020, yang diadakan satu tahun kemudian karena pandemi COVID-19.
Pusat perhatian korupsi dalam Olimpiade Tokyo adalah seorang eksekutif Panitia Penyelenggara Olimpiade, Haruyuki Takahashi.
Takahashi dituding menerima suap sebesar 200 juta yen (Rp20 miliar) dari lima perusahaan agar perusahaan-perusahaan ini terpilih sebagai sponsor dan agen pemasaran Olimpiade Tokyo.
Takahashi juga dituding memanfaatkan pengaruh dan koneksinya dengan tokoh-tokoh industri olahraga guna menentukan kontrak sponsor dan pemasaran Olimpiade.
Takahashi membantah semua tudingan itu, dengan dalih adalah wajar mendapatkan atau memberikan sesuatu, sebagai tanda terima kasih dan pertemanan.
Baca juga: Pejabat eksekutif Olimpiade Tokyo ditangkap dalam kasus dugaan suap
Selanjutnya: Olimpiade demokratis
Copyright © ANTARA 2024