Semarang (ANTARA) - Hari Kehakiman Nasional merupakan momentum untuk mengingatkan kembali kepada hakim agar berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap profesional, bertanggung jawab, berdisiplin tinggi, menjunjung tinggi harga diri, dan bersikap mandiri ketika menangani perkara.
Sepanjang hakim mengimplementasikan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) ketika memutuskan suatu perkara, kemungkinan kecil menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Kenapa? Karena telah memenuhi rasa keadilan semua pihak yang berperkara.
Apalagi, KEPPH menegaskan bahwa pengadilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Ditegaskan pula dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang KEPPH bahwa pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.
Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara. Dalam hal ini, hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan senantiasa mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral, dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak.
Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas hakim harus dalam koridor penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan tanpa pandang bulu, dengan tidak membeda-bedakan orang. Disebutkan pula dalam kode etik tersebut bahwa setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim.
Pada tanggal 1 Maret 2024 merupakan Hari Kehakiman Nasional sekaligus saat yang tepat bagi publik untuk mengingatkan kembali kepada hakim untuk senantiasa mengejawantahkan kode etiknya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Oleh karena itu, seharusnya hakim bebas merdeka, siapa pun tidak boleh mengintervensi mereka ketika menjalankan dan memutuskan suatu perkara di pengadilan.
Akan tetapi, menurut pakar hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H., banyak terjadi putusan berpihak kepada orang yang mengintervensi, baik dengan materi maupun dengan kekuasaan, sehingga tidak mencerminkan rasa keadilan.
Padahal, pengadilan adalah harapan masyarakat untuk mencari keadilan. Di sinilah terkandung asa agar hakim makin menyadari bahwa pengadilan adalah benteng terakhir penegakan dan pemulihan hak asasi manusia bagi masyarakat.
Lagi pula, kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel Aziezi, independensi peradilan pada dasarnya bukanlah kemewahan seorang hakim, melainkan kewajiban agar peradilan yang berjalan bisa adil dan imparsial (tidak memihak).
Lantas apa saja tanda-tanda suatu vonis hakim bermuatan kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu? Prof. Faisal lantas menyebutkan putusan hakim itu bertentangan dengan rasa keadilan yang ada, bahkan merugikan masyarakat pencari keadilan.
Biasanya terlihat dengan tidak memperhatikan fakta-fakta persidangan dan sering kali mengabaikannya. Bahkan, selalu hakim berpikir dengan keyakinan yang tidak berdasarkan fakta persidangan.
Menurut Direktur Pascasarjana Universitas Borobudur Jakarta ini, sederhana saja putusan hakim dalam suatu perkara adalah berpihak pada kebenaran berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang ada dalam suatu persidangan, kemudian memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Jadi, bukan berdasarkan adanya imbalan suatu materi atau intervensi dari penguasa.
Upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, Prof. Faisal memandang perlu adanya pengawasan melekat yang ketat kepada para hakim dan lembaga peradilan.
Hal lain yang penting adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan studi lanjut sampai jenjang tertinggi atau doktor, sehingga mengetahui dan memahami perkara yang mereka hadapi, kemudian memutuskan perkara tersebut.
Selain itu, harus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan yang baik, sehingga para hakim sudah nyaman untuk tidak menerima apa pun dari pihak yang berperkara.
Dengan pendapatan dan kesejahteraan yang baik, mereka pun hanya concern pada perkara untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, bukan untuk mencederai keadilan bagi masyarakat.
Di lain pihak, Komisi Yudisial (KY) RI berupaya meminimalkan dugaan pelanggaran oleh hakim dengan mengadakan pelatihan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan pelatihan tematik guna meningkatkan kualitas hakim.
Terkait dengan pelatihan berkenaan dengan tema (tematik), misalnya mengenai pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Pelatihan tematik ini bergantung pada kebutuhan Mahkamah Agung.
Tidak hanya menyosialisasi KEPPH, tetapi juga berkenaan dengan materi pelatihan tematik lain, antara lain, tentang lingkungan hidup, pajak, tindak pidana anak, hukum syariah, hukum pajak, PHI, dan sebagainya.
Pelatihan tematik yang dibutuhkan oleh Mahkamah Agung, dari hasil komunikasi MA dan KY, sepanjang bisa dipenuhi oleh KY, permintaan tersebut akan dibantu.
Selama ini, kata anggota KY selaku Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Joko Sasmito, pelatihan yang secara rutin, antara lain, pelatihan pemilu dan pilkada, serta pencegahan terhadap pelanggaran KEPPH bagi hakim. KY juga melakukan pemantauan terhadap sidang-sidang di pengadilan. Bahkan, pada tahun 2023 yang mengajukan permohonan tercatat 820 laporan agar KY memantau persidangan.
Materi lain yang menurut Joko tak kalah penting adalah penanganan terhadap hakim yang terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Diungkapkan pula data penanganan laporan masyarakat pada tahun 2023 ada 42 hakim yang dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dari 42 hakim itu, 15 orang dikenai sanksi ringan, 10 orang disanksi sedang, dan 17 orang disanksi berat.
Sementara itu, pada tahun 2022 tercatat 19 hakim dikenai sanksi. Namun, lanjut Joko, jika melihat data pada tahun 2021 tercatat 97 hakim disanksi lebih tinggi jumlahnya ketimbang pada tahun 2023.
Kendati demikian, masih adanya hakim "nakal" tampaknya menjadi peringatan para penegak hukum di Tanah Air. Hal ini bisa ditekan bila proses peradilan tanpa ada intervensi, baik berupa uang maupun kekuasaan. Mari saling menjaga lembaga peradilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024