Ribuan warga Trenggalek menyaksikan ritual yang diawali kirab tumpeng agung dari Kantor Desa Tasikmadu hingga Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Prigi itu.
Setelah rangkaian upacara, tumpeng dan sesaji ditarik kapal nelayan ke tengah laut.
"Ini adalah upacara adat yang digelar setiap tahun sejak dahulu kala, bahkan sebelum kemerdekaan, kegiatan ini sudah dilakukan," kata Kepala Desa Tasikmadu, Riyono.
Kepala Bidang Promosi dan Budaya Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Trenggalek, Suparlan, menjelaskan, tradisi larung sembonyo berawal dari pembukaan perkampungan pada zaman kerajaan Mataram Hindu.
"Kala itu Raja Mataram memerintahkan Yudho Negoro untuk membuka hutan di kawasan Watulimo untuk dijadikan permukiman," katanya.
Namun pembukaan lahan untuk permukiman tersebut konon menuai kendala, Yudho Negoro diminta penunggu kawasan Prigi untuk menikahi Ratu Tengahan.
Selain itu setiap tahun dia harus menggelar acara langen tayub 40 hari 40 malam, juga jaranan serta wayang kulit.
Seiring berjalannya waktu masyarakat pesisir selatan Trenggalek ini melanjutkan tradisi itu dengan memberikan sedekah laut.
"Ini memang bukan sejarah, namun adalah cerita babat tanah Prigi dan sekitarnya, kemudian untuk saat ini, para nelayan memaknai acara larung sembonyo tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas melimpahnya hasil laut," jelas Suparlan.
Bupati Trenggalek, Mulyadi Wr, pemerintah daerah berusaha melestarikan tradisi itu dan menjadikannya sebagai salah satu aset wisata budaya.
"Kami berharap seluruh komponen masyarakat terutama warga yang ada di sekitar Kecamatan Watulimo untuk ikut serta melestarikan," katanya.
Pewarta: Slamet Agus Sudarmojo
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013