"Mencermati negara-negara maju ternyata kultur mobil pun telah digantikan keberpihakan terhadap angkutan umum massal," kata Eka Sari Lorena dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Menurut Eka, masa depan infrastruktur transportasi massal di Indonesia belum memperlihatkan titik terang seperti masih belum terbangunnya MRT dan monorel, serta turunnya kualitas layanan.
Ia memaparkan, di negara maju, bahkan kaum kaya di sana juga memilih menaiki angkutan umum atau bersepeda ketimbang berkendaraan pribadi karena menghadapi risiko macet dan pusing mencari tempat parkir.
Sebaliknya, Indonesia malah menghadapi kontroversi kebijakan mobil murah. "Mobil murah pun dituding menambah kemacetan di kota-kota di Indonesia. Mobil murah juga ditentang karena hadir justru saat infrastruktur transportasi belum terbangun," katanya.
Namun beberapa kalangan menilai kebijakan itu bisa dilihat dari segi positif dan negatif, seperti disampaikan peneliti Transportasi Jalan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, Nunuj Nurdjanah.
Dalam keterangan tertulisnya, dia mengatakan mobil murah akan menambah penghasilan pajak negara dari otomotif, sedangkan masyarakat ekonomi menengah akan mendapatkan mobil baru dengan harga terjangkau.
Tapi dari sudut negatifnya, kata dia, mobil murah akan meningkatkan penggunaan mobil pribadi di jalan yang berakibat pada meningkatnya kepadatan lalu lintas dan meningkatkanya konsumsi BBM.
"Bergulirnya program mobil murah ini dampaknya berantai, dan perlu upaya keras instansi terkait untuk meminimalkan dampak negatif tersebut," tuturnya.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013