Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lilis Mulyani menilai aturan agraria yang sekarang terkesan tidak sederhana dan semakin ruwet, sehingga ketimpangan penguasaan tanah semakin terlihat jelas.

"Meski dijadikan satu dalam undang-undang, termasuk dalam Undang-undang Cipta Kerja, sebetulnya itu sangat tidak menjawab permasalahan," ujarnya dalam bedah buku studi agraria kritis di Jakarta, Rabu.
Lilis mengatakan pihak yang diuntungkan dengan regulasi itu semakin terlihat bila dikaji lebih dalam terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau undang-undang lain yang dikeluarkan sekarang.

Baca juga: Presiden respons isu Hadi jadi Menko Polhukam dan AHY jadi Menteri ATR

Menurutnya, penumpukan penguasaan lahan oleh segelintir orang atau kelompok semakin nyata. "Pihak yang mendapatkan akses paling besar tetap korporasi yang dipegang oleh sekelompok kecil orang saja," kata Lilis.

Pada 2015, Lilis bersama peneliti lain terlibat di Kantor Staf Presiden untuk menyusun naskah akademis tentang reforma agraria.

Hasil riset para peneliti diinterpretasikan berbeda oleh para teknokrat dan birokrat yang membuat kebijakan, baik itu legislatif maupun eksekutif.

Lilis menilai ada proses-proses pemilihan yang menyesuaikan kewenangan mereka dan kepentingan.

Ketika para peneliti mengkaji reforma agraria yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, pada akhirnya ada kompromi-kompromi yang kemudian masuk dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Lebih lanjut, dia menyampaikan tentang perhutanan sosial untuk mengurangi ketimpangan akses. "Isu struktural mendasarnya bahwa ketimpangan rakyat masih banyak yang belum memiliki lahan, sementara kelompok lain memiliki lahan yang sangat luas, itu tidak terjawab dengan reforma agraria," ujar Lilis.

Lilis menyampaikan bahwa hukum bukan soal taken for granted yang diterima begitu saja, karena di dalamnya ada proses. Pembuat kebijakan perlu menilai itu secara kritis. Hasil riset bisa menjadi bagian dari proses di dalam pembuatan kebijakan yang berbasis fakta dan berbasis sains.

Baca juga: Agus Harimurti Yudhoyono, tokoh muda yang ditugaskan jabat Menteri ATR

Baca juga: BPN sederhanakan aturan pertanahan

Dia berpesan kepada para periset atau pengkaji untuk memiliki kacamata kritis, karena tidak bisa bicara hanya normatif dan deskriptif untuk memahami akar dari permasalahan agraria di Indonesia. Berpikir kritis juga akan membuka dan mengantarkan rasa empati pada kelompok yang marjinal.

Ketika peneliti berpikir kritis, mereka tidak hanya membongkar dari sisi konteks nasional maupun konteks globalnya. Ketika mereka terjun di masyarakat, mereka bisa melihat apa yang tidak bisa terlihat, utamanya kelompok-kelompok terpinggirkan, kelompok yang tidak memiliki suara itu bisa terlihat ketika menggunakan kacamata kritis itu.

"Ini bisa memberi dorongan juga untuk melakukan perlawanan kepada ketidakadilan yang terjadi," pungkas Lilis.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024