"Sudah ada keputusan. Pertamina tidak boleh beli dolar AS di pasar spot," kata Menteri Perindustrian MS Hidayat kepada wartawan di Seoul, Korea Selatan, Kamis, ketika menghadiri pertemuan Komite Bersama RI-Korea Selatan.
Hidayat pada Rabu (25/9) bersama-sama Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan bertemu dengan Presiden Korsel Park Geun-Hye di kantornya.
Menperin Hidayat menjelaskan mulai Senin (24/9) Pertamina sudah tidak boleh lagi membeli dolar AS di pasar spot. BUMN itu harus membelinya di pasar "forward".
Pemerintah, katanya, sudah menjamin bahwa jika nanti ketika Pertamina dalam melakukan "hedging" mengalami kerugian kurs karena nilainya turun, maka itu tidak dimasukkan dalam klasifikasi kerugian negara.
Keputusan itu diambil setelah pertemuan antara pihak terkait yang diminta oleh Presiden.
Menurut Hidayat, keputusan itu sebagai masalah yang penting karena setiap hari BUMN itu membutuhkan 150 juta dolar AS guna mengimpor minyak. "Bayangkan kalau setiap hari Pertamina mencari dolar AS maka ketersediaan dolar AS bisa terganggu," katanya.
Terganggunya ketersediaan dolar AS di pasar, kata Hidayat, dapat mengganggu stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Menperin juga mengatakan bahwa saat ini Kementerian BUMN sedang membereskan masalah agar PT Perkebunan Negara bisa menjual langsung minyak sawit mentah (CPO)-nya.
"Ini perlu dilakukan karena ternyata selama ini BUMN perkebunan itu tidak menjual langsung CPO-nya, tapi melalui pihak lain," katanya.
Artinya dolar AS yang dihasilkan dari ekpor CPO itu tidak bisa disimpan di dalam negeri karena mata uang AS itu telah menjadi milik pihak lain.
"Kalau kita jual sendiri kan, kita bisa simpan dolarnya di dalam negeri. Dolar kita jadi makin banyak," kata Hidayat.
Selain karena defisit neraca berjalan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga disebabkan oleh langkanya dolar AS di dalam negeri. Karena itu, upaya menjaga ketersediaan mata uang AS itu teru diupakan pemerintah dan Bank Indonesia.
Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013
