Hutan ini jangan sampai punah, binatangnya tetap lestari, supaya anak cucu kita di masa mendatang masih bisa menikmati
Jakarta (ANTARA News) – "Di Jakarta masih ada hutan lho," ujar Ganda Saragih (35), pengunjung Suaka Marga Satwa Muara Angke, saat mempromosikan tempat itu kepada teman-temannya.
Ya, kota metropolitan ini masih memiliki hutan.
Hutan Suaka Marga Satwa Muara Angke yang berada wilayah Kelurahan Kapuk Muara dan Pluit, tepat di depan perumahan elit Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara, itu merupakan salah satu benteng terakhir bagi sistem penyangga kehidupan Ibu Kota.
Suara dedaunan yang saling bergesek ditiup angin, suara burung-burung, dan suara-suara alam yang menyejukkan menyambut pengunjung yang memasuki suaka alam tersebut.
Ketika memasuki kawasan hutan, pengunjung juga akan disambut oleh segerombolan monyet yang asyik menyantap buah-buahan yang disediakan oleh pengelola suaka alam.
Di jembatan kayu yang pada bagian atasnya ada lengkungan pohon mangrove, mereka asyik menyantap buah tanpa menghiraukan pengunjung yang lalu lalang melewati jembatan.
"Monyetnya liar, tapi enggak pernah ganggu atau gigit manusia, enggak usah takut," kata Niman (57), petugas Suaka Marga Satwa Muara Angke.
Laman resmi Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta menyebutkan, kawasan itu merupakan habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), sekitar 50 jenis burung yang menetap dan 10 jenis burung migran, serta beberapa jenis reptil.
Tapi sayang, kondisi kawasan suaka alam yang ingin dijadikan sebagai pusat pendidikan konservasi lahan basah itu sekarang memprihatinkan.
Pembangunan Ibu Kota yang sepertinya tiada henti disertai ulah manusia-manusia tidak bertanggung jawab telah menggerogoti kekuatan kawasan suaka alam seluas sekitar 25 hektare itu dalam menyangga kehidupan.
Cemaran limbah dari berbagai kawasan di Jakarta mengotori perairan di pinggiran hutan mangrove Muara Angke.
Sampah-sampah plastik warna-warni seolah ingin mengalahkan keindahan hutan bakau yang hijau, merongrong kekuatan bakau dengan menghambat pernapasan akarnya.
"Dari tahun ke tahun kondisi hutan mangrove semakin memprihatinkan, akarnya tertutup sampah sehingga pernapasannya terhambat, yang akhirnya mengakibatkan mangrove mati," kata Arifin (35), petugas pada bagian pemeliharaan aset Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
"Kalau berbicara mengenai limbah, hal itu sangat menyedihkan, dapat mematikan berbagai binatang air, seperti ikan, belut, kepiting, dan masih banyak hewan air lainnya yang menjadi korban dari pencemaran air," jelasnya.
Padahal hutan mangrove merupakan tempat banyak hewan air berkembangbiak dan berlindung serta sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas garis pantai dan melindungi pantai dari abrasi.
Kondisi ini telah menggugah inisiatif dari kelompok-kelompok masyarakat untuk melakukan penyelamatan, salah satunya Jakarta Green Monster.
Aktivitas komunitas relawan yang peduli pada kawasan pesisir utara Jakarta seperti Suaka Margasatwa Muara Angke dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut itu meliputi pendidikan lingkungan, konservasi dan riset.
Mereka antara lain melakukan monitoring burung, kampanye lingkungan, inventarisasi keanekaragaman hayati, pembersihan sampah, dan penanaman kembali.
Arifin berharap, perhatian dari berbagai kalangan masyarakat dapat menyelamatkan kawasan hutan yang pada 1939, saat Jakarta masih berada di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sudah ditetapkan sebagai cagar alam itu.
"Hutan ini jangan sampai punah, binatangnya (harus) tetap lestari, supaya anak cucu kita di masa mendatang masih bisa menikmati dan melihat fungsi hutan sangat besar untuk kehidupan," katanya.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013