Sekarang saja Pak SBY tetap mengurus konvensi Partai Demokrat karena tidak bisa melepaskan konsentrasi dalam acara itu meskipun ada yang ditugaskan untuk menanganinya."
Jakarta (ANTARA News) - Partai Keadilan Sejahtera menyetujui revisi Undang-Undang nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, salah satunya untuk menghindari seorang presiden dan wakil presiden rangkap jabatan menjadi ketua umum partai politik.
"Ada beragam perkembangan terjadi setelah UU itu dibuat dalam konteks demokrasi, misalnya terjadi rangkap jabatan seorang presiden dengan menjadi ketua umum partai politik," kata Ketua Fraksi PKS di DPR Hidayat Nur Wahid kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Hidayat mencontohkan konvensi Partai Demokrat yang diikuti beragam kalangan menuntut pesertanya mundur untuk menghindari konflik kepentingan maka hal tersebut harus diikuti oleh seorang presiden untuk tidak rangkap jabatan. Karena menurut dia, apabila seorang menjadi presiden maka orang tersebut sudah menjadi bapak bangsa dan fokus mengurusi urusan rakyat.
"Silakan saja yang bersangkutan masih berada di internal partai tetapi jabatan ketua umum memerlukan tanggung jawab dan dedikasi penuh," tegasnya.
Dia menjelaskan apabila seorang presiden dan wakil presiden rangkap jabatan menjadi ketua umum partai maka kepentingan rakyat akan diabaikan karena waktu dan perhatian presiden untuk mengurus partai.
"Sekarang saja Pak SBY tetap mengurus konvensi Partai Demokrat karena tidak bisa melepaskan konsentrasi dalam acara itu meskipun ada yang ditugaskan untuk menanganinya," kata Hidayat.
Selain itu menurut dia, dalam perkembangan demokrasi yang berjalan di Indonesia banyak calon presiden merasa "besar" dan menghadirkan pengaruh yang tidak sebanding di publik dengan calon lain.
Karena itu Hidayat mengusulkan adanya pengaturan dana kampanye melalui media agar tidak ada beberapa bakal calon presiden yang menguasai media. Karena dia menilai apabila ada bakal calon presiden seperti itu maka yang bersangkutan bisa menguasai semua wacana kampanye dan itu tidak adil.
"Dua hal itu belum ada dalam UU Pilpres yang lalu," katanya.
Badan Legislasi DPR direncanakan menggelar rapat pleno mengambil keputusan akhir mengenai dilanjutkan atau tidaknya revisi UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden pada Rabu (25/9).
Saat ini masih ada lima fraksi yang menolak perubahan UU tersebut yaitu Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Amanat Nasional.
Sementara iru, tiga fraksi lainnya setuju UU Pilpres diubah yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Hanura. (I028/I007)
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013