Sentani (ANTARA) - Kampung Yoboi berada di Kecamatan/Distrik Sentani. Lokasi kampung ini berada di pinggiran Danau Sentani, danau terluas kedua di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatera Utara, yang dikelilingi hutan sagu sangat luas.

Kampung Yoboi terkenal dengan keunikannya karena berada di atas Danau Sentani dan tidak memiliki daratan seperti hal kampung lainnya yang memiliki daratan. Hampir semua rumah penduduk dibuat terapung dan dihubungkan dengan jembatan kayu.

Beberapa tahun belakangan, Yoboi juga disebut sebagai kampung warna-warni, karena hampir seluruh jembatan, rumah dan fasilitas umum maupun pribadi di kampung tersebut dicat warni-warni.

Dengan keunikan itu, Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI melalui Pesona Indonesia mendaulat Yoboi sebagai kampung wisata di Kabupaten Jayapura, Papua, pada 2021, setelah kunjungan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno ke daerah ini.

Berbagai penghargaan nasional diterima Kampung Yoboi, salah satunya adalah Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022.

Berkunjung ke Kampung Yoboi akan disuguhi keaslian bangunan yang masih mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal. Rumah-rumah masih terbuat dari kayu dan dibangun di atas air.

Selama di Kampung Yoboi, wisatawan akan melakukan segala aktivitas di atas air melalui papan-papan yang dibuat sedemikian rupa menjadi jembatan dan jalan.

Di Kampung Yoboi ini pula wisatawan dapat melihat hutan sagu yang terhampar luas di sekitarnya seperti padang ilalang yang hijau dan asri.

Bagi masyarakat setempat, sagu merupakan makanan pokok yang telah diwariskan turun-temurun sejak zaman nenek moyang suku Sentani atau orang Papua bagian pesisir pada umumnya.

Sagu menjadi makanan utama baik di dalam keluarga maupun acara-acara adat yang digelar sejak zaman dulu hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Yoboi maupun masyarakat Sentani pada umumnya.

Pengelolaan sagu, khususnya di Kampung Yoboi, masih dilakukan secara tradisional atau biasa disebut ‘tokok’ guna mengambil serbuk pohon sagu menggunakan alat-alat tradisional.

Melihat hal ini, dengan jumlah pohon sagu yang sangat melimpah maka Representative, Food and Agriculture Organization of The United Nations for Indonesia atau Perwakilan Badan Pangan dan Pertanian Dunia untuk Indonesia (FAO-UN), akan memberikan alat pengolahan sagu dalam skala besar kepada masyarakat Kampung Yoboi.

Bantuan dari FAO-UN tersebut diharapkan dapat meningkatkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masyarakat di Kampung Yoboi sekaligus menjadi percontohan pengolahan sagu modern di Indonesia.

Survei

Guna mendukung rencana tersebut, FAO-UN melakukan survei langsung ke Kampung Yoboi didampingi jajaran Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Jayapura untuk melihat bagaimana pengolahan pohon sagu yang diolah selama ini menjadi tepung sagu.

Setelah rangkaian survei dilakukan, FAO-UN menggelar lokakarya dan diskusi publik bersama pemerhati lingkungan, tokoh adat, tokoh masyarakat, pelaku UMKM untuk mendengarkan langsung pendapat tentang rencana pemberian bantuan alat pengolah sagu tersebut.

Semua tokoh yang hadir dalam diskusi itu merasa bersyukur karena ada lembaga dunia di bawah PBB yang mengurusi tentang pangan dan pertanian ingin membantu Kampung Yoboi di Pulau Papua, Indonesia, yang bersebelahan dengan negara tetangga Papua Nugini (PNG).

Apalagi, FAO-UN ingin menjadikan Kampung Yoboi sebagai contoh penerapan pengolahan sagu berkelanjutan dalam jumlah besar. Tepung sagu tersebut nantinya tidak hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-sehari, tapi juga dapat dipasarkan.

Perwakilan FAO-UN untuk Indonesia-Timur Leste, Rajendra Arya, menyatakan akan mendukung pelaku UMKM di Kampung Yoboi dalam mengelola sagu dalam jumlah yang besar.

Alat pengolah sagu yang dibantukan akan menghasilkan tepung sagu dalam jumlah banyak dan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kegiatan usaha UMKM maupun diekspor ke luar Papua maupun luar negeri.

Tepung sagu bisa dikemas dalam kemasan yang menarik, kemudian dikirim ke Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, sehingga masyarakat yang ingin mengonsumsi tepung sagu bisa membelinya di pasar swalayan.

Langkah itu sebagai terobosan untuk membawa sagu ke industri besar yang bisa dinikmati bukan hanya masyarakat Papua, tetapi masyarakat di luar Papua pun bisa menikmatinya dengan membelinya di pasar.

Selain itu, masyarakat Kampung Yoboi bisa mengolah tepung sagu menjadi berbagai makanan maupun minuman yang memiliki nilai ekonomis tinggi dengan nilai kadar gula yang cukup rendah.

FAO-UN akan mengembangkan hal itu untuk dapat merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat Papua melalui tepung sagu yang dikelola secara profesional.

Pemkab Jayapura sangat antusias dengan dukungan organisasi pangan dan pertanian PBB yang ingin membantu masyarakat Kampung Yoboi dalam pengelolaan sagu berkelanjutan.

“Ini sangat baik sekali, supaya dapat merubah pola pikir masyarakat untuk mengolah sagu tidak hanya sebatas membuat papeda atau sagu porno, tetapi bisa dikembangkan menjadi olahan dengan nilai ekonomis tinggi,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Jayapura, Jenny S Deda.

Pemandangan rumah-rumah di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)

Dusun Sagu

Dusun atau hutan sagu di Kabupaten Jayapura pada kurun waktu 1960-2000 masih sangat luas. Namun, kini mulai menyusut karena sebagian berubah fungsi menjadi kawasan-kawasan permukiman penduduk dan lainnya.

Data Bappeda Kabupaten Jayapura pada 2019 menyebutkan, luas hutan sagu di daerah ini diperkirakan mencapai 3.302 hektare yang terdapat pada enam distrik, yakni di Distrik Sentani 1.964,5 hektare, Sentani Timur 473,0 hektare, Sentani Barat 74,6 hektare, Waibhu 138,9 hektare, Unurum Guay 277,3 hektare, dan Demta 374,6 hektare.

Pemda setempat kini berupaya agar lahan sagu tidak semakin menyusut dengan mengubah cara pandang masyarakat, sehingga dusun atau hutan sagu tetap terpelihara dengan baik. Sagu tidak hanya menjadi sumber pangan, akan tetapi bisa meningkatkan ekonomi keluarga melalui berbagai olahan.

Masyarakat Papua dahulu mempunyai kebiasaan mengonsumsi papeda, sagu porno dan berbagai jenis umbi-umbian sebagai makanan pokok. Kemudian, pada tahun 1980-an mereka mulai mengenal makanan dari beras.

Tokoh adat Papua Ramses Wally sangat mendukung Badan Pangan dan Pertanian PBB yang ingin membantu masyarakat Kampung Yoboi mengelola sagu berkelanjutan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Sagu itu identitas kami masyarakat Papua, karena sagu maka kami ada. Sagu begitu tuanya dengan adat dan budaya orang Papua,” ujarnya.

Sagu ketika dikelola dengan baik dan dikembangkan melalui teknologi maka akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, sagu tidak hanya dibuat sebagai papeda tetapi dapat dijual ke pasaran menjadi tepung sagu yang bersih dan berkualitas.

“Tugas kita sebagai masyarakat asli Papua dan sebagai pimpinan adat harus memproteksi dan menyampaikan ke warga supaya kembali dan menjaga dusun sagu, jangan dijual untuk kesenangan sesaat, tetapi akan membuat anak cucu menderita seumur hidup,” katanya menambahkan.

Untuk menjaga lahan sagu, masyarakat harus selalu menjaga kelestarian hutan yang ditumbuhi berbagai tanaman sebagai sumber makanan pokok masyarakat Papua. Selain itu, hutan tempat hewan hidup di dalamnya, juga bisa menjadi sumber protein.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024