Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai persetujuan Pemerintah terhadap revisi Peraturan Menteri No. 26/2021 terkait dengan penggunaan PLTS Atap mampu menghindarkan negara dari berbagai bentuk kerugian secara masif.
"Keuangan negara akan terbebani jika aturan tersebut tidak direvisi. Contoh Vietnam, gara-gara tidak berjalan lancar dan merugikan, negara tersebut menyetop PLTS Atap mulai 2021 hingga 2030," katanya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, keuangan negara akan tergerus saat negara harus membeli listrik dari PLTS Atap, namun dengan adanya revisi yang sudah disetujui presiden, negara tidak akan mengalami kerugian.
"Karena skema jual beli-listrik antara pemilik PLTS atap dengan negara telah dihapus,” katanya dalam keterangannya.
Agus mengatakan Indonesia harus banyak belajar dari Vietnam yang APBN-nya sempat tergerus akibat penerapan PLTS Atap.
Saat itu, lanjutnya, Vietnam sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang gencar memakai PLTS Atap akhirnya membatalkan regulasinya.
Di Vietnam, selama kurun waktu 1 tahun yaitu periode 2019–2020, terjadi penambahan kapasitas hampir 8 GW untuk PV Rooftop dan hampir 8 GW untuk solar farm.
Namun, tambahnya, hal tersebut meninggalkan persoalan baru bagi sistem kelistrikan Vietnam. Akhirnya Vietnam Electricity/EVN selaku offtaker harus menanggung pil pahit itu.
Agus menegaskan persetujuan pemerintah terkait dengan PLTS Atap itu menyelesaikan banyak masalah, terutama jual beli listrik hasil dari kelebihan pemasangan PLTS Atap oleh negara.
Pada aturan sebelumnya, menurut dia, negara akan banyak menanggung kerugian akibat harus mengompensasi kelebihan penggunaan listrik dari PLTS Atap, terutama yang dipasang di rumah-rumah. “Itu kan nggak bener.”
Untuk itu, Agus berharap, revisi aturan yang telah disetujui oleh Pemerintah segera diundangkan untuk mengantisipasi risiko kerugian negara.
"Ini penting agar negara tidak rugi," katanya.
Selain berbagai masalah itu, kata Agus, intermintensi atau ketergantungan terhadap cuaca diakui menjadi salah satu kelemahan pembangkit listrik dari tenaga surya sehingga mengganggu keandalan listrik sehingga kualitas layanan kepada masyarakat jadi tidak maksimal.
Menurutnya, pembangunan dan pengembangan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan harus berlangsung tanpa membawa dampak yang berat untuk masyarakat dan negara.
"Pada COP28 terakhir di Dubai, bahkan saya juga belum melihat negara maju serius menjalankan transisi energi ke EBT. Uni Eropa saja menyalakan lagi pembangkit listrik batu bara saat Rusia menyetop gas," katanya.
Baca juga: CESS: Revisi Aturan PLTS Atap berdampak positif pada pasokan listrik
Baca juga: YLKI: Revisi aturan PLTS Atap merupakan "win-win solution"
Pewarta: Subagyo
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2024