"Kemudahan akses di dunia digital tanpa disadari menimbulkan banyak dampak buruk terhadap kerentanan terhadap risiko adiksi gawai yang dihadapi anak dalam ranah daring," katanya saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Dampak buruk tersebut seperti perundungan siber, kekerasan berbasis gender online (KBGO), materi kekerasan seksual anak, live streaming seksual, hingga perdagangan anak.
Menurut dia, ada 823 atau 31 persen pengaduan Kasus Klaster Perlindungan Khusus Anak diterima oleh KPAI.
Sementara berdasarkan data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2022, tercatat 26,67 persen anak usia 5 - 18 tahun yang mengakses internet, 74,16 persen berada di wilayah perkotaan, dan sisanya di wilayah pedesaan.
"Dalam kehidupan modern saat ini, internet menjadi kebutuhan utama seiring perkembangan teknologi, dan masuk ke berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan anak-anak. Internet menjadi medium baru dalam berkomunikasi, kemudahan dalam mengakses menjadi penentu keberhasilan perkembangan internet. Padahal, derasnya arus informasi di dunia digital tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan anak-anak dalam memproses informasi yang diterima," katanya.
Sehingga, kemajuan teknologi digital membawa dampak luas bagi tumbuh kembang anak, khususnya pada masa remaja.
Baca juga: Penganiayaan anak di Parung, KPAI desak RUU Pengasuhan Anak disahkan
Baca juga: KPAI: Partisipasi pelaporan perlindungan anak meningkat di tahun 2023
Baca juga: KPAI terima laporan 3.883 kasus pelanggaran hak anak selama 2023
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024