Jakarta (ANTARA News) - "Dulu ada perasaan di Jawa semua pintar, tapi kan di Jawa tak semua tinggal di Cikini, dan tak semua sekolahnya baik. Kenapa mesti dibedakan dengan di Ambon dan NTT. Akibatnya terjadi pembodohan nasional," kata Wakil Presiden M. Jusuf Kalla.
Hal itu, menurut Wapres dalam Rapat Kerja Nasional di kantornya, lantaran tidak adanya ketegasan dalam penentuan keluluan atau kenaikan kelas, sehingga mengakibatkan terjadinya pembodohan nasional dan terdesain secara resmi bahwa siswa sekolah luar Jawa harus lebih bodoh daripada di Jawa.
Ia pun mencontohkan, pada zaman dulu jika angka kelulusan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta enam, maka di luar Jawa, seperti Bengkulu dan sebagainya angka empat akan didongkrak dua poin sehingga menjadi enam.
"Artinya, terdesain secara resmi bahwa anda di daerah harus lebih bodoh, dan boleh lebih bodoh daripada di DKI. Di sinilah telah terjadi pembodohan-pembodohan, karena kita punya pengalaman mengasihani daerah dalam arti kata memperbodoh daerah, setiap kita kasihani daerah secara prinsip, artinya kita kasih bodoh daerah," katanya.
Akibatnya, tambah Wapres, saat ini terjadi kesulitan bagi siswa-siswa luar Jawa untuk bisa masuk ke perguruan tinggi favorit, seperti Universitas Indonesia (UI) dan Istitut Teknologi Bandung (ITB), bahkan ke Akademi Militer (Akmil) serta Akademi Kepolisian (Akpol).
"Bahkan, sekarang ini sulit mencari jenderal dari Timur, seperti Ambon, Papua dan sebagainya sudah susah. Di situlah NKRI ini akan mulai pecah apabila SDM-nya berbeda-beda, karena ekonomi akan rendah, karena suatu daerah SDM-nya rendah," kata Wapres.
Oleh karena itulah, menurut Wapres, pemerintah saat ini mengambil sikap tegas dalam pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dilakukan guna meningkatkan mutu pendidikan melalui standar nasional.
Pemerintah pusat di era otonomi daerah saat ini hanya tinggal melaksanakan tiga fungsi, yakni mejalankan norma, prosedur dan melakukan standar nasional.
"Kenapa ujian nasional? Karena, pemerintah harus punya standar nasional, negara harus punya standar," tegas Wapres.
Dulu, kata Wapres, semua murid akan lulus, dan akan naik kelas, sehingga membuat siswa tidak mau belajar keras lantaran toh semua akan lulus, sehingga kebijakan tersebut harus dihentikan.
"Hentikan itu semua, kita harus tegas dalam pendidikan, yang lulus ya lulus, yang
nggak lulus ya
nggak lulus, kalau tidak kita akan kalah terus," kata Kalla.
Kebijakan tersebut, tambahnya, dilakukan agar anak didik terbiasa untuk mau belajar lebih keras, dan peserta didik saat ini harus diperkuat rasa malu untuk tidak lulus atau tidak naik, sehingga membuatnya menjadi lebih keras belajar.
Wapres juga membandingkan angka kelulusan yang ada di Malaysia yang berada pada angka enam dan di Singapura lebih tinggi pada angka delapan, sedangkan untuk Indonesia saat ini baru mencapai 4,3.
"Kita selama sekian puluh tahun, terjadi kayak orang lompat tinggi, kalau ada orang tak bisa lompat, maka galahnya yang diturunkan, jadi makin turun. Di Singapura galahnya yang dinaikkan terus pelan-pelan," kata Wapres, sambil memeragakan tangannya naik turun.
Karena itu pula, Wapres menambahkan, kebijakan UAN akan tetap dilakukan dengan tegas tanpa ada perbedaan-perbedaan di setiap daerah. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006