Yerusalem (ANTARA) - Israel menghadapi seruan yang kian meningkat untuk menyetujui gencatan senjata di Jalur Gaza saat konflik mematikan dengan Hamas telah berlangsung selama lebih dari empat bulan dan merenggut nyawa puluhan ribu warga Palestina di Gaza hingga Rabu (14/2).

Seruan tersebut muncul ketika Israel mengindikasikan akan meluncurkan operasi darat di Rafah, kota paling selatan Gaza. Di Rafah, sekitar 1,4 juta warga Palestina yang mengungsi mencari perlindungan dari bombardir tanpa henti oleh Israel di wilayah-wilayah lain di daerah kantong pesisir itu.

Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Rabu (14/2) berbicara melalui telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mengatakan bahwa Prancis menentang serangan Israel di Rafah.

Menurut keterangan yang dirilis Istana Elysee, Macron mengatakan bahwa serangan seperti itu hanya akan menyebabkan bencana kemanusiaan dengan skala yang lebih besar.

Hal tersebut akan menjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional dan akan menimbulkan risiko tambahan terhadap eskalasi regional.

Membantah adanya tekanan yang terus meningkat, Netanyahu mengatakan kepada Macron bahwa Israel akan bertempur hingga meraih kemenangan total dan itu termasuk operasi besar-besaran di Rafah.

Dia mengatakan bahwa para tentara akan mengizinkan warga sipil untuk melarikan diri dari kota tersebut sebelum melancarkan serangan

Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, yang sedang melakukan kunjungan ke Israel, mengatakan dalam sebuah unggahan di media sosial X pada Sabtu (10/2) bahwa penderitaan di Rafah sudah tidak dapat dibayangkan dan serangan militer akan menjadi katastrofe kemanusiaan.

"Orang-orang yang mencari perlindungan di Rafah "tidak bisa menghilang dalam sekejap," tulis Baerbock.

Pertemuan para negosiator Qatar, Mesir, Amerika Serikat, dan Israel di Kairo pada Selasa (13/2) berakhir tanpa adanya hasil, meskipun laporan-laporan media mengindikasikan bahwa pembicaraan tersebut berlangsung dalam suasana yang konstruktif.

Media milik pemerintah Israel, Kan TV, melaporkan bahwa Mesir memutuskan untuk memperpanjang perundingan selama tiga hari tambahan guna menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Namun, Netanyahu tidak menyetujui kembalinya Kepala Mossad David Barnea, yang menghadiri pembicaraan itu pada Selasa, ke Kairo.

Netanyahu menyepelekan pentingnya kesepakatan untuk membebaskan para sandera, dengan menekankan bahwa kunci untuk membebaskan para sandera yang tersisa: tekanan militer yang kuat dan negosiasi yang tegas.

Sepanjang Selasa malam hingga Rabu dini hari waktu setempat, tentara Israel membombardir daerah-daerah di Rafah dan Khan Younis, kota terbesar di Gaza selatan, kata militer Israel dalam sebuah pernyataan.

Hamas, kelompok bersenjata Palestina yang menguasai Gaza, menuntut diakhirinya perang dengan imbalan pembebasan para sandera, sementara Israel hanya menyetujui gencatan senjata dengan batas waktu tertentu. Kedua belah pihak bersedia untuk menyertakan pembebasan tahanan Palestina dalam kesepakatan tersebut, tetapi ada juga ketidaksepakatan terkait jumlah tahanan yang akan dibebaskan.

Menurut kementerian kesehatan yang berbasis di Gaza, serangan militer yang dilancarkan oleh Israel sebagai balasan atas serangan Hamas telah menewaskan 28.576 warga Palestina di Gaza dan melukai 68.291 orang lainnya. Sementara itu, sekitar 1.200 warga Israel tewas akibat serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, menurut data resmi Israel.

Pewarta: Xinhua
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2024