Kian agresif setelah Piala Dunia 2022

Mereka makin agresif setelah sukses menggelar Piala Dunia 2022 yang merupakan Piala Dunia FIFA termahal, termegah dan fenomenal, ketika Lionel Messi akhirnya meraih trofi dambaan yang sebelum ini tak bisa diraihnya.

Sayang, timnas sepak bola Qatar tak melalui Piala Dunia 2022 semulus mereka menyelenggarakan turnamen ini, karena tersingkir sejak fase grup dengan menggenggam statistik terburuk sepanjang sejarah Piala Dunia.

Kendati begitu, sukses mereka dalam menyelenggarakan Piala Dunia 2022 telah mengubah kawasan Teluk menjadi pusat olahraga global, yang kian menggoda pemangku kepentingan sport global menempatkan kawasan ini sebagai tempat nyaman untuk menyelenggarakan turnamen dan kompetisi olahraga.

Sukses Piala Dunia 2022 juga menular ke tetangga-tetangga Qatar, termasuk Arab Saudi yang dinobatkan sebagai tuan rumah Piala Dunia FIFA 2034.

"Keberhasilan Saudi tak akan terjadi tanpa sukses Piala Dunia 2022," kata Danyel Reiche, pakar politik olahraga, seperti dikutip Japan Times.

Negara-negara Teluk menyadari pentingnya olahraga sebagai soft power, yang penting dalam konteks diversifikasi ekonomi, dan juga pengaruh internasional sebuah negara.

Sejak revolusi Arab Spring yang mengguncang Timur Tengah awal dekade 2010-an, negara-negara Teluk intensif merangkul kebijakan luar negeri yang proaktif.

Mereka berusaha menjauhkan diri dari predikat hanya sebagai monarki yang kaya energi, tanpa pengaruh global yang signifikan.

Qatar sendiri menyadari bahwa sebagai negara kecil dengan medan manuver politik yang terbatas, memproyeksikan kekuatan dan pengaruh ke seluruh dunia adalah cara terbaik dalam membuatnya kuat, stabil dan berpengaruh.

Mereka tak punya militer yang besar, pun tak punya postur politik yang menentukan.

Tapi mereka bisa merangkul soft power yang sering memberikan visibilitas lebih besar guna bersaing dalam mendapatkan status internasional yang sama pentingnya dengan negara-negara besar.

Olahraga menjadi sebuah medan besar untuk memproyeksikan soft power itu. Dan itu sudah dilirik Qatar sejak merdeka pada 1971.

Monarki kecil ini sadar betul bagaimana harus menempatkan diri di antara para raksasa, khususnya Iran dan Arab Saudi.

Kesadaran untuk menempatkan diri dengan benar ini makin kuat setelah Irak menginvasi Kuwait pada 1990.

Tapi untuk menduduki posisi internasional yang benar itu, mereka mesti mendapatkan pengakuan internasional yang luas dan kuat.

Upaya itu mendapatkan momentum ketika Sheik Hamad bin Khalifa Al Thani "melengserkan" ayahandanya pada 27 Juni 1995.

Baca juga: Qatar siap lanjutkan kejayaan di Liga Champions Asia
Baca juga: Qatar tetap berkomitmen jadi tuan rumah Olimpiade 2032

Selanjutnya: Mempermudah pencapaian

Copyright © ANTARA 2024