Media alternatif ini (kulkul) berhasil mengajak warga berbondong-bondong ke balai banjar yang merupakan salah satu lokasi pemungutan suara,
Denpasar (ANTARA) - Bali dengan lebih dari 3,2 juta orang yang tercatat di daftar pemilih tetap pada Pemilu 2024 dianugerahi kearifan lokal berupa media pemanggil warga untuk berkumpul ke tempat pemungutan suara.
Sebuah benda sakral yang identik dengan adat, tradisi, dan budaya itu menjadi penolong dalam menambah partisipasi pemilik hak suara. Nama benda itu adalah kulkul.
Jika kulkul terdengar asing, maka kentungan mungkin lebih dikenal. Namun di Bali, benda yang terbuat dari kayu atau bambu ini berbeda dari kentungan biasanya. Benda ini dianggap sakral sehingga tidak sembarang digunakan.
Efek magis dari kulkul nyatanya bisa mendatangkan masyarakat, terutama warga adat di Pulau Dewata. Masyarakat adat tak asing dengan ketukan dan apa makna di baliknya.
Media komunikasi tradisional ini kemudian dimanfaatkan penyelenggara pemilu untuk mendorong partisipasi masyarakat. Keterlibatan mereka akan terlihat dari jumlah kehadiran pemilih di lokasi pemungutan suara.
Penggunaan kulkul
Dari penuturan Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Bangli Ketut Kayana di Denpasar, benda berbentuk tabung yang ketika dipukul dapat menghasilkan bunyi itu digunakan masyarakat sejak dahulu kala. Fungsinya lebih banyak untuk kegiatan niskala atau non-duniawi untuk upacara keagamaan.
Kulkul memang tujuannya untuk memanggil krama desa adat dalam upacara rutin seperti hari keagamaan, rapat di balai, dan kegiatan sekala (duniawi) seperti pemilu sehingga warga akan berkumpul ke pusat suara.
Kulkul dari ukuran dan bahan dasar pembuatannya akan berbeda di setiap tingkatan,m. Benda ini penuh kesakralan sehingga dibuatnya pun tidak sembarangan.
Kulkul paling besar hanya dapat dimiliki desa adat sebagai strata tertinggi di struktur masyarakat adat Bali, diikuti kulkul banjar untuk lingkungan terkecil, dan kulkul sekaa atau kelompok kecil tertentu seperti kelompok tani.
Bahan dasarnya mulai dari batang terdalam pohon nangka atau dikenal dengan les hingga paling mudah didapat dari bambu berukuran besar.
Untuk bunyi yang dihasilkan, makin besar ukuran kulkul maka jangkauannya akan kian jauh dan mudah terdengar masyarakat setempat.
Umumnya kulkul terletak di atas sebuah balai persegi, posisinya tinggi dan terdiri atas dua bilah kentungan, disebut lanang-wadon atau laki-laki dan perempuan. Tak sembarang orang boleh membunyikan benda tersebut, hanya orang terpilih yang diizinkan, biasanya kesinoman.
Kesinoman adalah laki-laki yang kebetulan pada momentum tersebut bertugas sebagai juru arah, mereka bertugas bergiliran sebagai pemberi informasi ke masyarakat.
“Memang tugasnya memanggil krama (warga) di saat hendak sangkep paruman (rapat) atau kumpul. Sekarang sudah dikombinasi dengan memberi informasi lewat pesan HP, tapi kulkul harus tetap jalan. Tradisi kita tidak boleh dihilangkan,” kata dia.
Lain cerita jika kulkul mendadak harus dibunyikan dalam keadaan darurat, misalnya, bahaya kebakaran, gempa Bumi atau tsunami, pada kondisi tersebut tidak harus kesinoman yang membunyikannya.
Setiap bunyi yang keluar memiliki makna masing-masing. Setiap masyarakat adat hafal dengan ketukannya, seperti kulkul tanda bahaya dengan frekuensi pukulan yang temponya cepat dan terus berlanjut.
Untuk Pemilu 2024 ini tiap desa adat maupun banjar memiliki ciri khasnya masing-masing dalam memberi tanda panggilan menuju tempat pemungutan suara, di Bangli contohnya mereka menggunakan ketukan memanggil masyarakat sangkep ke banjar.
Setiap ketukan dibuat sesuai kesepakatan bersama, agar masyarakat paham arti setiap kali kulkul berbunyi.
Dari penuturan Ketut Kayana, tradisi membunyikan kulkul di luar keperluan adat sudah berlangsung sejak awal pemilihan umum lahir. Saat ini di Bangli terdapat 170 desa adat dan lebih dari 300 banjar yang menerapkan.
Untuk pemilu, kulkul dipukul atuludan atau satu set. Semuanya telah diatur dalam awig-awig dan dijabarkan secara teknis dalam pararem, istilah-istilah bagi peraturan adat yang menjadi kebijakan masing-masing desa adat.
Setiap desa adat memiliki otoritas namun tidak lepas dari pakem Bali dan bingkai negara, seperti di lain lokasi yaitu Denpasar, mereka belum mengatur awig-awig untuk pemukulan kulkul dalam kontestasi pemilu.
Dari penjelasan Ketua MDA Denpasar AA Ketut Sudiana, pada pemilu-pemilu terdahulu mereka menggunakan kulkul sebagai media pemanggil warga ke TPS, tetapi karena menyadari adat belum mengatur penggunaan kulkul akhirnya mereka memutuskan kali ini cukup dengan menginformasikan warga dari rumah ke rumah melalui kesinoman.
Semangat melanjutkan tradisi ini tak ingin dihentikan, untuk itu majelis desa adat berencana mengumpulkan para bendesa adat di Denpasar untuk berdiskusi mempertimbangkan pembuatan awig-awig pemilu dan pararem penggunaan kulkul.
Target KPU Bali
Melihat potensi kearifan lokal yang ada, KPU Bali tak ingin menyia-nyiakan ini.
Mereka berkoordinasi dengan majelis desa adat agar mengingatkan jajarannya membantu meningkatkan kehadiran pemilih melalui panggilan kulkul.
Pada pemilu kali ini penyelenggara mencatat ada 3.269.516 orang daftar pemilih tetap, yang tersebar di 12.809 TPS, dengan target 83 persen di antara mereka menggunakan hak pilih.
Sebelumnya, pada Pemilu 2019, KPU Bali menargetkan partisipasi 80 persen pemilih, namun nyatanya angka 82 persen justru didapat mereka.
Komisioner KPU Bali I Gede John Darmawan mengakui salah satu yang membantu adalah tradisi pemukulan kulkul. Media alternatif ini berhasil mengajak warga berbondong-bondong ke balai banjar yang merupakan salah satu lokasi pemungutan suara.
Untuk lebih jauh memopulerkan kulkul, penyelenggara turut mengenalkannya ke delegasi parlemen dunia yang kebetulan hadir di tiga TPS untuk melihat kekhasan pemilu di Indonesia.
Tempat yang dikunjungi para delegasi yaitu TPS 13 Balai Banjar Teba di Jalan Ulun Suwi, Jimbaran yang merupakan lokasi pemungutan dengan seluruh petugasnya adalah perempuan; TPS 29 SD 5 Ungasan di Jalan Toya Ning II Banjar Bukungsari, kawasan Garuda Wisnu Kencana yang berada di objek wisata; dan TPS 09 Balai Banjar Penglipuran di Bangli yang menonjolkan ciri khas pemilu di desa seperti menggunakan kulkul untuk memanggil warga.
Media komunikasi tempo dulu itu dinilai punya andil dalam meningkatkan partisipasi pemilih sehingga bisa mencapai target. Lebih jauh dari itu, semua yang mendukung penggunaan kulkul ingin agar penggunaan media ini tetap lestari di masyarakat dalam setiap kegiatan.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024