Sekitar 400 warga desa itu tinggal di area yang terjepit lahan kebun kelapa sawit milik perusahaan yang mengusahakan perkebunan di kawasan hutan rawa gambut Tripa atau yang biasa disebut Rawa Tripa.
Jangankan untuk bercocok tanam, lahan untuk pekuburan pun mereka tidak punya. Warga yang meninggal dunia harus dikuburkan di desa yang jaraknya kiloan meter dari tempat mereka tinggal.
"Kami ini hanya status saja sebagai petani, tapi tidak punya lahan," kata Sekretaris Desa Kuala Seumayam, Busra.
Warga yang sebelumnya tinggal di pesisir Pantai Kuala Seumayam itu juga sudah sulit kembali ke kawasan pemukiman asal mereka yang terbakar saat konflik tahun 2004.
"Desa kami sudah ada sejak zaman Belanda. Pada 2004, karena ada konflik, rumah kami di sana terbakar. Pemerintah daerah memindahkan kami untuk sementara di sini," kata Ali (31), perwakilan warga Kuala Seumayam.
"Di sana sudah jadi hutan, rumah-rumah kami pun tidak ada karena terbakar saat konflik," jelasnya.
Selain itu mereka juga merasa berat jika harus membangun ulang kehidupan dari awal karena tidak ada akses jalan yang memadai ke daerah pemukiman awal mereka.
Biaya untuk membangun rumah di tempat lama pun, kata dia, tidak akan sedikit.Sementara perusahaan, ia menjelaskan, hanya mau memberikan sebagian lahan perkebunan untuk warga jika warga bersedia membayar ganti rugi yang nilainya sangat besar bagi mereka.
Katanya harus bayar ganti rugi, Rp8 juta per batang. Satu hektare saja ada 130 batang," jelas Ali tentang ganti rugi yang harus mereka bayar ke perusahaan berdasarkan jumlah pohon kelapa sawit.
Warga desa yang mengandalkan rawa-rawa dan laut untuk hidup itu sudah menyampaikan aspirasi mereka untuk mendapatkan tambahan lahan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh.
Harapan bahwa keinginan mereka untuk mendapatkan lahan yang lebih luas akan terkabul datang saat anggota dewan datang meninjau desa dan menjanjikan lahan seluas empat hektare bagi warga Kuala Seumayam.
"Kami bertemu dengan Al Fatah, DPR Provinsi. Janjinya kalau permintaan masyarakat kepada perusahaan untuk meminta lahan tidak diberikan, dia akan membelikan kami empat hektare," jelas Ali.
Menanti janji terwujud
Janji anggota DPRD untuk membelikan lahan bagi warga sampai sekarang belum terwujud.
Saat ini warga Desa Kuala Seumayam masih hidup yang ada dengan fasilitas layanan publik terbatas.
Hanya ada sebuah ruangan untuk menampung murid Sekolah Dasar (SD) kelas 1 dan 2 di desa itu sehingga anak yang ingin melanjutkan ke kelas lebih tinggi harus menumpang truk pengangkut sawit ke SD lain yang berada dekat pabrik kelapa sawit.
Meski berada di lingkungan perkebunan kelapa sawit namun hanya sebagian kecil saja masyarakat Kuala Seumayam yang mendapatkan manfaat dari perkebunan kelapa sawit.
Menurut Busra, hanya sekitar 80 warga Kuala Seumayam yang bekerja di perusahaan sawit yang berbatasan dengan desa.
"Itu pun sebagai buruh harian lepas dengan gaji kotor Rp43.000," kata Ali tentang pendapatan harian warga yang bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Warga di desa yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dari Alue Bilie melewati jalanan berbatu dan berdebu menembus perkebunan kelapa sawit itu pun sudah tidak bisa mengandalkan sektor perikanan yang sebelumnya menjadi andalan untuk mencari nafkah.
Sumber mata pencaharian mereka terancam hilang karena lahan gambut sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Sekarang jadi kering karena ada kanal, dulu dapat lele rawa sehari bisa 25 kilogram, sekarang tiga kilogram," ujarnya serta menambahkan warga sebelumnya biasa menangkap ikan lele dengan bubu di rawa.
Mereka sekarang juga sering merasakan dampak banjir karena air sungai yang meluap karena fungsi lahan gambut untuk menahan air sudah berkurang.
Semua itu membuat warga menginginkan lahan lebih luas supaya setidaknya bisa mengusahakan pertanian agar dapat hidup layak.
"Kalau bisa tanam padi mungkin bisa lebih makmur karena tidak usah pikir lagi untuk beli beras," keluhnya.
Mereka hanya bisa berharap agar pemerintah mau melaksanakan tugasnya untuk menyelesaikan masalah ini.
"Harapan kami bertambah lahan kami di sini," tegasnya.
"Kalau pemerintah juga tidak memberi bantuan lagi, nasib kami akan sama saja," tambah Ali.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013