Indonesia berada pada urutan ketiga dunia dengan jumlah perokok laki-laki dewasa terbanyak di bawah China dan India.

Jakarta (ANTARA) - Memilih wakil rakyat hingga presiden dan wakil presiden merupakan momen yang sangat krusial untuk menentukan nasib bangsa ini hingga 5 tahun ke depan.

Bahkan buah dari kebijakan yang ditentukan oleh para pemimpin bangsa tersebut boleh jadi dampaknya akan lebih lama dari itu. Termasuk juga terkait dengan kebijakan pertembakauan.

Perhatian yang besar terkait pengendalian tembakau merupakan salah satu hal yang menjadi urgensi tinggi saat ini. Mengingat
tingkat prevalensi merokok di Indonesia sudah sangat tinggi, bahkan mencapai level darurat.

Data World Health Organization & Ministry of Health (2012) tentang Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011 menunjukkan jumlah perokok di Indonesia telah meroket di angka 30-35 persen dari populasi. Dua dari tiga laki-laki dewasa Indonesia adalah perokok dengan rata-rata konsumsi rokok 13 batang per hari.

Kenyataan ini membawa Indonesia berada pada urutan ketiga dunia dengan jumlah perokok laki-laki dewasa terbanyak di bawah China dan India.

Meskipun rata-rata usia mulai merokok adalah 17,6 tahun, sekitar 75 persen perokok Indonesia memulai merokok sebelum berusia 20 tahun. Sebanyak 78,4 persen mereka yang berusia 15 tahun ke atas terpapar asap rokok di rumah, 63,4 persen di kantor pemerintah, 17,9 persen di fasilitas kesehatan, 85,4 persen di restoran, dan 70 persen di sarana transportasi umum.

Yang lebih miris lagi, tingkat prevalensi anak mencapai 9,1 persen. Ini angka yang sangat tinggi, bahkan tertinggi di dunia. Dan ini diperkirakan akan terus melambung sampai minimal 15 persen, jika tak ada pengendalian serius.

Selain itu, saat ini ada ancaman baru bagi remaja khususnya, yakni rokok elektronik, yang tingkat prevalensinya sudah mencapai 3,8 persen.

Terjadi fenomena baru di kalangan remaja, bahwa rokok elektronik dianggap sebagai solusi untuk berhenti merokok, dan dianggap rokok "sehat".

Tentu ini anggapan yang sangat keliru, dan terbukti yang terjadi banyak remaja malah menjadi perokok ganda, merokok jenis elektronik dan merokok konvensional pula.

Untuk itu, maka masyarakat perlu benar-benar memilih pemimpin yang memiliki perhatian besar terhadap upaya pengendalian tembakau terutama mempertimbangkan dampaknya bagi kelangsungan generasi muda ke depan.

Kondisi riil di lapangan tidak menunjukkan adanya pengendalian ketat tembakau. Rokok bisa dijual bebas, bahkan di minimarket, etalase sigaret menjadi pemandangan pertama ketika konsumen berada di depan kasir. Iklan luar ruang juga setali tiga uang.


Sikap capres/cawapres

Menimbang sikap capres/cawapres saat ini, untuk pasangan calon (paslon) 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, secara verbal dan tekstual memang belum ada data atau informasi yang cukup sahih keterkaitannya dengan industri rokok.

Jika merujuk visi misi plus debat capres pada sesi ke-5, sejatinya aspek promotif dan preventif capres Anies Baswedan cukup kuat.

Namun, jangan lupa, dari sisi cawapres (Cak Imin) yang tentunya sangat dekat dengan kalangan industri rokok, baik di area Jawa Timur dan atau Jawa Tengah. Maka bukan tidak mungkin bahwa posisi wapres jika terpilih nantinya juga akan mewarnai dari sisi kebijakan pengendalian tembakau.

Kemudian pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, dari sisi Capres Prabowo terindikasi memiliki kedekatan dengan industri tembakau.

Pada suatu acara talkshow uji visi misi para capres oleh Komnas Pengendalian Tembakau, salah satu timses (tim sukses) yang hadir adalah timses dari pasangan calon nomor urut 02. Dan dari timses nomor 02 diwakili oleh seorang petani tembakau (pengurus Asosiasi Petani Tembakau Indonesia/APTI). Kedekatan pelaku usaha tembakau bisa mewarnai kebijakan terkait hal tersebut.

Dan terakhir pasangan calon nomor 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud Md. Dalam suatu acara dengan petani tembakau, di Temanggung, Jawa Tengah, capres Ganjar Pranowo dinobatkan sebagai "Senopati Tembakau".

Lantas Ganjar pun berjanji, kelak jika dirinya terpilih menjadi presiden, ia akan menurunkan cukai tembakau yang selama ini diketahui menjadi instrumen kebijakan terpenting untuk pengendalian tembakau.


Perlu konsistensi

Jika semua pasangan calon capres/cawapres konsisten dengan isu bonus demografi pada 2030, dan Indonesia Emas 2045, maka kebijakan pengendalian tembakau seharusnya sangat ketat dan menjadi isu yang tak terelakkan.

Sebab, konsumsi rokok yang ugal-ugalan di tengah masyarakat, terbukti menjadi salah satu pencetus utama tingginya prevalensi penyakit tidak menular.

Oleh karena itu, tanpa pengendalian ketat, baik dari sisi hulu maupun hilir, maka bonus demografi dan generasi emas hanya akan menjadi mitos. Yang ada justru akan terwujud bonus generasi yang sakit-sakitan dan generasi cemas.

Jadi, jika merujuk pada konfigurasi dan narasi di atas, maka cukup pelik untuk menentukan pilihan, mana capres/cawapres yang berpihak pada aspek pengendalian tembakau.

Artinya, siapa pun capres yang terpilih nanti, menjadikan kebijakan pengendalian tembakau untuk 5 tahun ke depan akan terasa rumit.

Namun demikian, sebagai warga negara yang baik, masyarakat tetap harus menentukan pilihan.

Oleh karena itu, pelajari lebih cermat sembari menimbang dalam-dalam capres mana yang sekiranya masih ada ruang harapan untuk diharapkan dalam hal kebijakan pengendalian tembakau, bahkan kesehatan publik secara meluas.

Semoga Indonesia menjadi negara yang lebih sehat dan sejahtera berkat adanya pemilih cerdas.


*) Penulis adalah Pengurus Harian YLKI, Pengamat Kebijakan Publik.

Copyright © ANTARA 2024