Praha (ANTARA News) - Myanmar perlu mengubah undang-undang secepat mungkin guna menempatkan negeri itu dalam jalur demokrasi yang lebih mantap, kata peraih penghargaan Nobel Perdamaian dan pemimpin oposisi demokrratik di negerinya, Aung San Suu Kyi, Selasa.
Partai Liga Nasional Bagi Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi menang telak dalam pemilu parlemen tahun lalu dan memberinya kursi di parlemen.
Namun tokoh pemimpin berusia 68 tahun itu menghadapi tantangan alot untuk mengubah undang-undang untuk mempercepat reformasi yang bisa membuatnya dapat mengikuti pemilihan presiden pada 2015.
"Kami perlu mengubah undang-undang yang bisa membuat negara kami benar-benar menjadi negara demokratis," kata Suu Kyi kepada wartawan dalam jumpa pers di Praha.
Myanmar mengalami perpecahan suku termasuk kelompok masyarakat yang terbanyak menganut Buddha dengan kaum Muslim Rohingya di wilayah barat.
Sedikitnya 237 orang telah terbunuh dalam kekerasan yang melibatkan kedua kelompok itu tahun lalu dan sekitar 150.000 kehilangan rumah tinggal.
"Masalah suku tidak akan dapat terpecahkan dengan undang-undang yang sekarang yang tidak memenuhi aspirasi kebangsaan suku-suku. Masalah demokrasi tidak dapat diselesaikan dengan konstitusi yang ada," kata Suu Kyi.
Berdasarkan undang-undang saat ini, Suu Kyi dilarang mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu2015, karena peraturan mengatakan melarang siapapun warga Myanmar yang menikah dengan orang asing, untuk mencalonkan diri.
Suu Kyi bersama mendiang suaminya, warga Inggris, akademisi Michael Aris, memiliki dua putra berkebangsaan Inggris.
Mengubah undang-undang merupakan usaha yang rumit. Hal itu memerlukan lebih dari 75 persen dukungan di parlemen, sementara 25 persen kursi dimiliki oleh militer berdasarkan penunjukan --ini menjadi masalah tersendiri bagi Suu Kyi.
Jika Suu Kyi bisa memperoleh kekuasaan, ia bukan saja akan memastikan perubahan undang-undang tetapi juga perlu menjaga dua mantan jenderal musuh bebuyutannya.
(M007)
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013