“Hiperaktif juga, karena nggak bisa tidur apa aja dipegang. Beres-beres rumah. Kadang semalaman nggak tidur beresin semuanya. Awalnya saya pikir itu positif,” kata Bambang saat ditemui di acara Layar Jiwa di Cikini, hari ini.
Bambang mengaku tidak bisa mengontrol emosinya.
Lilik Suwardi, penderita skizofrenia lainnya, dalam film tentang skizofrenia “Split Mind” yang juga diputar pada acara itu, mengatakan dirinya mendengar suara-suara.
Ia berusaha meredam suara-suara itu dengan mendengarkan radio melalui earphone, tetapi masih saja terdengar.
Tahun 2000-an, usai ibunda Bambang meninggal, ia didiagnosa mengidap skizofrenia. Keluarga pun memutuskan Bambang harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa Magelang, padahal saat itu, istrinya, Yatminah (44), sedang hamil tua anak pertama mereka.
Selama beberapa waktu, Bambang dirawat di sana. Di rumah sakit itu pula lah ia bertemu dengan antropolog dari UCLA University, Profesor Robert Lemelson, yang sedang meneliti pasien gangguan jiwa di Bali dan Jawa Tengah.
Lemelson pun mengabadikan kisah Bambang dalam salah satu seri dalam filmnya “Afflictions: Culture and Mental Illness in Indonesia”.
Bambang yang berada di film itu jauh berbeda dengan pembawaannya kini. Saat masih dirawat di Magelang, dalam film, Bambang terlihat hiperaktif, dan seringkali bernyanyi lagu berbahasa Inggris seperti “Against All Odds” milik Phil Collins.
Bambang yang tadi hadir di acara Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) lebih kalem, tidak banyak berbicara.
“Saya dulu cenderung gembira ya terlalu gembira, sedih terlalu sedih. Kadang main gitar nyanyi sampai terlalu menghayati, sampai nangis,” kenangnya.
Bambang masih kurang paham, secara klinis, apa yang menyebabkan dirinya menderita skizofrenia. Ia hanya menduga penyakit itu dipicu emosinya yang berlebihan.
Menurut modul “Intervensi Psikoedukasi Interaktif Singkat” yang dibuat oleh dr. Carla R. Marchira, SpKJ, skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan perubahan tingkah laku yang aneh, mengalami halusinasi panca indera (mendengar, melihat, meraba, mengecap, mencium sesuatu yang tidak ada) dan waham (merasa menjadi sesuatu yang tidak nyata seperti diikuti, diawasi, dibicarakan).
Skizofrenia disebabkan oleh perubaham kimia (neurotransmitter) di otak yang dipicu oleh berbagai macam masalah seperti stress, masalah ekonomi, keluarga, dan sebagainya.
“Yang muncul itu apa yang saya baca, dengar, dan itu terlalu saya resapi,” kata Bambang dalam salah satu sesi dalam sub-film “Memory of My Face”.
Nia Sari, mahasiswi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan produser film “Split Mind”, kerap melihat kakak laki-lakinya yang mengidap skizofrenia kehilangan kontrol, seperti berteriak-teriak marah.
Ia pun merasa sangat takut hingga gemetar dan menangis saat melihat abangnya kambuh. “Belum tau skizofrenia, masih anggap itu diguna-guna,” kata Nia.
Lemelson mengatakan, dalam risetnya di Bali, masyarakat kerap mengira pengidap skizofrenia kerasukan roh halus, bukan penyakit yang bersifat klinis.
Hal serupa juga dialami Lilik. Dalam film, ia mengatakan orang tuanya menyarankannya menemui paranormal daripada dokter.
Dukungan keluarga
Di samping pengobatan medis, dukungan keluarga menurut Lemelson merupakan pendorong dalam perawatan pasien skizofrenia.
dr. Mahar Agusno SpKJ(K), psikiater dari UGM, mengatakan salah satu kearifan lokal di pedesaan dapat dijadikan contoh dalam merawat penderita skizofrenia.
“Salah satu konsepnya, ‘keluarga sudah sakit, kami harus merawat. Kalau tetangga kami saja mau menyapa (penderita skizofrenia), kenapa kami nggak?,” katanya.
Yatminah pun dengan sabar mendampingi Bambang, prinsipnya “siapa sih yang mau diberi penyakit?”. Ia percaya bila Tuhan menciptakan suatu penyakit, pasti selalu ada obatnya.
Bambang pun bercerita selain dukungan dari keluarga besarnya, pendekatan religius juga membantunya untuk pulih dari skizofrenia. Ia sempat mondok di sebuah pondok pesantren untuk mendekatkan dirinya pada Sang Pencipta.
Sebagai orang yang mendampingi penderita skizofrenia, Yatminah meminta masyarakat untuk tidak mencibir, apalagi menganggapnya sebagai orang gila.
“Jangan dianggap si penderita tidak merasakan penderitaan. Mereka itu menderitanya lebih-lebih dari orang yang stroke (sakit fisik). Dengan kepedulian lingkungan, itu bisa membangkitkan semangat mereka,” kata Yatminah.
“Jangan dianggap nggak berguna, orang gila. Itu sebenarnya penyakit dan ada obatnya,” tambahnya.
Kini Bambang sudah pulih dari skizofrenia. Ia sudah tidak melakukan konsultasi ke rumah sakit dan bahkan sejak 2010, ia sudah tidak lagi mengonsumsi obat.
“Saya punya kesimpulan, apa yang kita inginkan tidak boleh berlebihan,semampu kita berusaha,” kata Bambang.
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013