Dengan mengekspor barang mentah artinya Indonesia masih memiliki struktur ekonomi yang sangat tradisional, bahkan berada di anak tangga terbawah `global supply chain`."Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berpendapat tanpa hilirisasi industri, posisi Indonesia berada di bagian terendah rantai pasokan global.
"Dengan mengekspor barang mentah artinya Indonesia masih memiliki struktur ekonomi yang sangat tradisional, bahkan berada di anak tangga terbawah `global supply chain`. Hilirisasi mendorong Indonesia menaiki tangga `global supply chain` dengan menjadi produsen bahan setengah jadi atau bahan material yang sudah diproses," kata Wijayanto kepada Antara di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, Indonesia sebagai negara kaya sumber daya alam selama ini menjadi pengekspor komoditas barang tambang mentah yang cukup besar di dunia.
Sebanyak 50 persen dari total komoditas ekspornya merupakan minyak bumi, gas alam, minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara yang dijajakan mentah-mentah ke seluruh belahan dunia.
Menurut dia, kebijakan hilirisasi industri mendorong agar semakin banyak proses pengolahan barang mentah dilakukan di Indonesia, sehingga keuntungan dalam bentuk penyerapan tenaga kerja, pendapatan pajak dan lain-lain dinikmati oleh mereka yang berada di Indonesia.
Wijayanto mengatakan diperlukan studi mendalam untuk benar-benar mengukur besarnya potensi keuntungan dari program hilirisasi industri. Namun demikian contoh sederhana manfaat hilirisasi industri dapat terlihat dari ekspor bijih tembaga.
"Jika kita menjual bijih tembaga, maka jumlah tenaga kerja yang diperlukan serta pendapatan pajak yang diperoleh hanya sedikit saja. Tetapi jika kita menjual tembaga yang sudah diproses, maka jumlah tenaga kerja yang terserap dan pendapatan pajak akan jauh lebih tinggi," kata dia.
Selain itu, gambaran sederhana lainnya yakni terlihat dari ekspor minyak mentah nasional. Jika harga satu liter minyak mentah adalah Rp6.500, kemudian Indonesia menjualnya dalam bentuk bensin, maka nilainya akan mencapai Rp10.500 per liter, atau ada nilai tambah sebesar 55 persen.
Jika Indonesia memasarkan dalam bentuk minyak pelumas non-syntetic nilainya akan berlipat-lipat menjadi Rp30.000 per liter, atau ada nilai tambah sebesar 350 persen.
"Nilai tambah sebesar 55 persen atau 350 persen itu akan gagal ikut bersirkulasi dalam sistem ekonomi kita, jika kita masih mengandalkan struktur ekonomi tradisional yakni hanya mengekspor bahan mentah," paparnya.
Lebih jauh dia mengatakan jika program hilirisasi industri berhasil diberlakukan, maka secara jangka menengah dan panjang dampak positifnya tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga akan mampu mengurangi defisit perdagangan dan menjaga nilai Rupiah yang belakangan fluktuatif terhadap dolar Amerika Serikat.
Namun demikian Wijayanto menilai hilirisasi industri tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemberlakuannya membutuhkan investasi tinggi, termasuk ketersediaan energi yang besar.
"Misalnya pembangunan smelter (fasilitas pengolah barang tambang mentah menjadi bernilai tambah) tentu membutuhkan investasi besar. Selain itu smelter untuk tembaga, besi, nikel, dan emas terkenal sangat boros energi," kata dia.
Diperlukan harmonisasi antar berbagai kebijakan, terutama kebijakan di sektor investasi, ekspor, perbankan, transportasi, energi, termasuk fiskal agar produsen energi lebih tertarik untuk menjual batubara dan gas alam ke dalam negeri untuk menjamin ketersediaan pasokan energi.
Menurutnya, seluruh investasi dan besarnya energi itu akan terbayar dengan hasil yang besar pula, tidak hanya bagi pengusaha selaku eksportir namun juga bangsa yang pada gilirannya berdampak positif bagi rakyat.
"Lagi pula dengan hilirisasi industri biaya produksi saya rasa justru akan menurun. Akan terdapat potensi penghematan luar biasa salah satunya biaya transportasi, misalnya biaya transportasi untuk mengekspor bijih tembaga atau emas, sudah pasti jauh lebih mahal daripada biaya untuk mengangkut emas dan tembaga batangan," kata dia.
Indonesia sebagai negara penghasil batu bara dan gas alam dengan cadangan yang cukup besar, kata dia, juga akan dimudahkan dengan biaya mengangkut energi yang lebih murah jika fasilitas smelter ada di dalam negeri, bukan di luar negeri.
Wijayanto menakar, dengan masih berlangsungnya praktik pungutan liar terhadap pelaku industri, sulitnya pembebasan lahan industri, korupsi dan lain-lain, maka secara realistis akan sulit mewujudkan hilirisasi industri yang benar-benar mandiri sebelum pemberlakuan pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi Asean) 2015.
"Hilirisasi perlu waktu cukup panjang. Tahun 2015 jelas tidak realistis, perlu paling tidak tiga hingga lima tahun," ujar dia.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi meminta pemerintah memberikan kepastian hukum dalam investasi bidang industri, sebab selama ini investor, khususnya di bidang perminyakan dipersulit khususnya dari sisi kepastian hukum dan perpajakan.
Sofjan mengatakan selama ini investasi yang diperlukan untuk mendukung hilirisasi industri seperti pembangunan smelter, yakni investasi jangka panjang bernilai miliaran rupiah.
Tanpa adanya insentif dan kepastian hukum maka para investor akan enggan berinvestasi.
"Sekarang orang mau investasi saja belum ada hasilnya sudah diminta pajak ini itu. Bagaimana dia mau investasi. Investasi itu diperlukan untuk mendukung hilirisasi industri juga," kata Sofjan.
(R028/Z002)
Pewarta: Rangga Pandu
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013