Surabaya (ANTARA News) - Nanoteknologi dapat diterapkan untuk mengatasi kasus meluapnya lumpur di lokasi eksplorasi yang dikerjakan PT Lapindo di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur, kata Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia (MNI), Dr Nurul Taufiqur Rahman M. Eng.
Hal itu, katanya kepada pers di Surabaya, Senin, didasarkan penelitian sebelumnya bahwa kadar silika dalam lumpur Lapindo cukup signifikan untuk dipisahkan.
Silika tersebut, menurut dia, yang nantinya diproses dengan mesin
ball mill, sehingga dapat menghasilkan nano silika yang berguna untuk memperkuat batako maupun batubata, yang kini sedang diproduksi berbahan campur lumpur dan tanah liat masing-masing 50 persen.
"Cukup mencampurnya dengan komposisi 10 persen berat semen yang dicampurkan ke dalam lumpur, maka kekuatannya bisa mencapai dua hingga tiga kali dari desain bata atau batako yang dibuat sebelumnya," ujarnya.
Menurut Taufiq, nano-silika bersifat
nano-filler, sehingga mengisi rongga-rongga kosong di dalam batubata yang potensial menimbulkan pelapukan dan tidak kedap air.
"Rongga-rongga dalam batubata akan tertutup dengan nanoteknologi ini. Itulah mengapa aplikasi nanoteknologi dalam pemanfaatan lumpur panas Lapindo sangat mungkin dilakukan. Pertimbangannya, selain relatif murah, karena teknologinya sudah dikuasai ahli-ahli dari Indonesia, bahan-bahannya juga mudah didapatkan," ungkapnya.
Nanoteknologi, menurut dia, sebenarnya bertujuan untuk melakukan rekayasa, memanipulasi dan mengontrol sebuah objek dengan ukuran nanometer (sepermiliar meter). Rekayasa ini dilakukan oleh "mesin-mesin" seukuran molekul yang diciptakan secara khusus.
Dengan nanoteknologi, ujarnya, material dapat didesain sedemikian rupa dalam orde nano, sehingga dapat memperoleh sifat dan material yang diinginkan tanpa memboroskan atom-atom yang tidak diperlukan.
Untuk melaksanakan semua ini, MNI telah menunjuk Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya sebagai koordinator wilayah timur pengembangan nanoteknologi.
"Melalui kerja sama ini, diharapkan jaringan penelitian dan penggunaan laboratorium dapat maksimal dalam menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, "Hambatan ketiadaan laboratorium dan ahli di sebuah instansi dapat teratasi," ujarnya.
Menurut Nurul, nanoteknologi merupakan sebuah masa depan, karena telah mempengaruhi semua industri seperti kimia, tekstil, komputer, penyimpanan data, transportasi, energi, kesehatan, dan keamanan.
Di Amerika Serikat (AS), ia mengemukakan, riset nanoteknologi marak sejak laboratorium pertama didirikan pada 1993 dan kini telah menjalar ke negeri Cina, sehingga sekarang ini beberapa produk mereka bermunculan. Lima negara terbesar investasinya adalah AS (35 persen), Jepang, Cina, Korea (Asia 35 persen), dan Uni-Eropa, terutama Jerman (28 persen).
Pada 2004, investasi nanoteknologi di seluruh dunia sekitar 6 miliar dolar AS, ada senilai 4,6 miliar AS dilakukan oleh pemerintah setiap negara pengembang, katanya.
Di Indonesia sendiri, menurut dia, nanoteknologi belum terlihat pada arah yang jelas, karena belum ada usaha yang memfokuskan riset bersama di bidang tertentu untuk pencapaian yang hebat.
"Itulah sebabnya, melalui kerjasama dengan ITS dan sejumlah perguruan tinggi lain, kami ingin mengajak untuk memikirkan secara bersama-sama terhadap arah dan pengembangan nanoteknologi ke depan," demikian Nurul Taufiqur Rahman. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006