Yogyakarta (ANTARA News) - Seniman Butet Kartarejasa berpendapat tayangan infotainment di televisi tidak perlu dilarang karena masyarakat sendiri yang semestinya bisa memilih mana infotainment yang baik dan mana yang menyesatkan. "Menjadi kewajiban bersama termasuk Nahdlatul Ulama (NU) dengan para nahdliyinnya (warga NU) untuk mendidik masyarakat bagaimana memilih tayangan infotainment yang isinya baik, dan jangan menonton infotainment yang menyesatkan," ujar dia ketika dihubungi ANTARA Biro Yogyakarta, Senin. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) melalui fatwanya mengharamkan tayangan infotainment yang menurut NU isinya lebih banyak menyesatkan daripada manfaatnya. Sementara itu, Dewan Pers mendukung fatwa NU itu, dan bahkan menyatakan tayangan infotainment yang menyesatkan melanggar UU Pers dan Kode Etik Wartawan. `Raja Monolog Butet yang ketika dihubungi via telepon sedang berada di Medan itu bahkan mengatakan bukan zamannya lagi `main larang melarang` terhadap produk tontonan publik. "Biarlah masyarakat yang menilai dan memilih mana program tayangan televisi yang pantas ditonton dan mana yang tak pantas dinikmati," sambungnya. Ia memberi contoh, seperti halnya majalah Playboy versi Indonesia, juga tidak perlu dilarang terbit, karena masyarakat pembaca yang akan menilai pantas atau tidak pantas isi majalah itu. Jika masyarakat menganggap isi Playboy Indonesia tak pantas dibaca, tentunya mereka tidak akan mau membeli apalagi membaca majalah itu. Begitu pula dengan tayangan infotainment di televisi, apabila masyarakat pemirsa menilai tayangan tersebut lebih banyak menyesatkan, pasti tayangan itu tidak akan ditonton. "Jika tidak ada lagi yang menonton, lama kelamaan akan hilang dari program tayangan televisi," kata dia. Menurut Butet yang anak kandung seniman tari Bagong Kussudiardja (almarhum), tayangan infotainment di televisi lambat atau cepat akan kehilangan `pasar`, apabila memang tidak lagi diminati atau ditonton masyarakat, karena oleh masyarakat dinilai tidak pantas lagi untuk dinikmati. "Tak perlu diharamkan atau dilarang, biarlah masyarakat sendiri yang menilai, dan jika masyarakat tak lagi menyukai, tentu akan ditinggalkan," tandasnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006